Indias Nurul Aini

Foto saya
“Jangan Percaya Saya” Saya adalah seorang gadis kecil yang suka berbohong Kalau saya pinokio, maka hidung saya pastilah akan bertambah panjang tiap kali saya tersenyum dan tertawa sambil berkata,”hahaha saya baik-baik saja ^___^ “ dan kalau rahasia bisa diuangkan, pastilah saya sudah kaya raya

Sabtu, 01 Desember 2012

My December Wish #1

Tepat 30 hari menjelang pergantian tahun baru Masehi,.izinkan saya mengingatkan kembali akan harapan yang saya ukir ketika awal tahun baru hijriyah kemarin. 

Suatu harapan yang paling penting dalam hidup ini menurut saya adalah saya mengetahui apa hakikat hidup di dunia. Bukankah saya akan benar-benar merugi bila sampai pada ujung usia kelak saya masih juga tidak tau untuk apa saya hidup di dunia, dan saya merasa tidak siap untuk ‘kembali’. 

Saat ‘kembali ‘kelak, yang saya inginkan adalah Allah mengizinkan saya untuk dihadapkan wajah saya pada syurga ketika sakaratul maut. Yang saya inginkan adalah Allah menghadirkan rasa rindu di hati saya pada tempat kembali saya, karena saya yakin yang akan menjemput saya kelak adalah hal yang indah. 

Bukankah lebih baik begitu? Bukankah lebih baik saya merasa siap terlebih dahulu terhadap hari di mana saya harus kembali? Bukankah lebih baik saya tidak merasa kaget ketika tiba-tiba harus berhadapan pada hari di mana saya harus ‘pulang’? 

Hal itu akan terjadi HANYA SATU KALI seumur hidup dan saya ingin menghadapinya dengan sukacita, bukan dukacita karena menyesal meninggalkan dunia.
Entahlah, akhir-akhir ini, yang menghantui saya adalah tentang kematian. Alhamdulilah, alhamdulillah, wal hamdulillah....


Kematian adalah suatu alat introspeksi diri yang paling dahsyat yang pernah saya rasakan. Introspeksi yang dahsyat itu datang ketika saya kehilangan orang-orang yang saya cintai dan  orang-orang terdekat saya ; teman saya, guru saya, Pak Herman, Kakek saya, Nenek saya, dll.


 Mereka pulang dengan cara yang berbeda. Teman saya harus ‘pulang’ ketika kami masih sama-sama duduk di bangku sekolah. Ia izin sakit, di rawat di rumah sakit, lalu  tiba-tiba saya dan beberapa perwakilan dari teman-teman dan guru harus berkunjung  ke rumahnya untuk melayat. Almarhumah Rinda Dwi Agustin, saya diberi kesempatan umur lebih panjang darimu..mungkin agar bisa menuliskanmu di sini. Memberi tahu pada teman-teman yang membaca tulisanku ini, bahwa mungkin kau lebih baik berada di sana sekarang.

 Kau lihat kami, tidak? Nasib kami berbeda-beda. Setelah keluar dari Pesantren kita tercinta itu, kami tak sebaik dulu. 
Kami tak lebih baik dari ketika kami belajar bersamamu di balik dinding dan pagar tinggi (kita tentu ingat,kita  dulu menyebutnya ‘pure jail’,penjara suci). 

Engkau dipanggil ketika engkau masih berada di sana, masih menuntut ilmu di sana, aku membayangkanmu di jemput dengan malaikat berwajah berseri...karena dirimu ketika itu adalah sosok yang kami kenal lugu dan diam. 
Hanya selalu tersenyum ketika mungkin engkau merasa kami sakiti. 
Bahkan Bu Endeh, guru bahasa Indonesia kita bilang, yang ia ingat darimu adalah senyuman yang terukir di wajahmu. 
Ya,kau memang sosok yang murah senyum. 

Kau tau? Jika aku ceritakan padamu bagaimana kondisi dan perjuangan kami melawan hal-hal duniawi setelah keluar dari ‘pure jail’, kupikir kau tidak akan menyesal untuk pergi secepat itu meniggalkan kami ketika itu. 
Nilai-nilai langit yang kita dapatkan di pesantren dulu, entah kemana. 

Mungkin luntur seiring dengan bertemunya kami pada hal-hal dunia dan tidak ada lagi teteh-teteh asrama yang cerewet menasehati ketika kita sulit untuk bangun shalat subuh dan pergi ke masjid untuk baca al-matsurat karena keasikan makan. 

Tidak ada lagi staf divisi keamanan yang menegur kita ketika kita keluar tidak memakai kaos kaki dan ketika kita pakai jilbab pendek. 

Kurasa juga karena tidak ada lagi ustadzah yang menasehati kita betapa pentingnya halaqoh, berkumpul bersama orang-orang yang bisa mengingatkan kita ketika kita salah. 

Kurasa juga karena tidak ada juga satpam yang menjaga kita agar kita tidak keluar dan pulang larut malam. Tidak ada juga yang menegur kita,”ayo teh...hafalannya ditambah” atau “ayo teh, hafalannya di murojaah”. 

Kebanyakan dari kita, sudah jauh dari kita yang dulu,. Dan andaikan kau masih ada di sini, bersama-sama kami yang seperti itu sekarang ini...kau akan merasa beruntung karena kau ‘pulang’ dalam masa mudamu yang penuh manfaat, dalam usiamu yang masih belia kau mampu pulang dalam kondisi sebagai gadis shalihah. 
Lain lagi dengan almarhum Pak Herman. Beliau mengingatkan saya akan betapa sangat mungkin saya ‘kembali’ dengan tiba-tiba. Hanya kecapekan. 

Minggu kemarin masih berjualan di gasibu, siapakah yang menduga bahwa minggu besoknya kau sudah tiada. Lapak mu kosong. 

Siapa yang menduga ketika saya berencana untuk mengunjungimu, membawakanmu oleh-oleh ini itu, tiba-tiba semua itu hanya tinggal rencana. 

Siapa yang menduga ketika saya masih bisa mengirimimu sms sapaan, dan saya mendapat balasan langsung darimu...lalu pada suatu saat saya mengirimimu sms dan yang membalasnya adalah anak perempuanmu berkata,”papa sudah meninggal minggu lalu”. 


Lalu almarhumah Bu Ayu. 
Darinya, saya belajar betapa ilmu adalah hal yang sangat penting untuk dibagikan. Bahwa menjadi sangat penting untuk menjadi sosok yang menginspirasi orang lain. 
Jadii ketika saya harus pergi, akan banyak sekali orang-orang yang mendoakan dan tanpa didoakanpun, ilmu yang saya beri untuk orang lain akan mengalir pahalanya dengan sendirinya. Barakallah Bu Ayuuu..sungguh saya ingin menjadi guru yang sepertimu.

Untuk introspeksi diri, kadang saya tidak perlu harus mengenalnya,tidak perlu harus pernah bertemu dengannya. 
Ada dua sosok yang mengsinspirasi saya, Almarhumah mbak Nurul F. Huda dan almarhumah mahasiswi kedokteran UNDIP yang meninggal  dalam kecelakaan ketika perjalanan menghadiri seminar. 
Keduanya meninggalkan dunia ini dengan meninggalkan ‘jejak’ yang sungguh berharga. Yang satu, sebuah novel (yang saya baca, cuman baru satu. Tapi sesungguhnya buku almarhumah mbak nurul ada banyak). 
Yang satu lagi sebuah tulisan terakhir sebelum kecelakaan yang merenggut nyawanya itu terjadi. Bukan main, tulisan mereka sungguh berarti bagi yang membacanya. 

Mbak Nurul adalah penderita penyakit klep jantung, namun produktif dan berjiwa besar dalam semua kejadian yang beliau alami. Semua pengalaman sakitnya dan bagaimana dia menghadapinya tertulis jelas dalam buku ‘Hingga Jantungku Berhenti Berdetak’. 

Mereka kukenal, justru karena mereka telah tiada. Mereka kukagumi, justru karena hal-hal baik dari mereka yang mereka habiskan semasa hidup. 

Saya mendoakannya, bukan karena saya mengenalnya. . Malah ketika mungkin saya mendoakan mereka, dan mereka menerima doa saya..mereka mungkin akan mengerutkan dahi,”doa dari siapa ini? Dan ternyata mungkin saja bukan hanya karena saya mereka mengerutkan dahi, tapi juga karena banyak sekali kiriman doa dari orang-orang yang mereka tidak mengenalnya. Siapakah mereka? Ya, para pembaca..yang kemudian menjadi tersadar ketika membaca tulisan – tulisan mereka. 
Para pembaca, yang turut meneteskan air mata karena tersadar dan bertaubat setelah membaca tulisan-tulisan mereka. Lalu mereka berterima kasih pada sang penulis, mendoakan almarhumah .... pasti dengan doa yang setulus-tulusnya. 

Dan bolehkah di penghujung tahun ini saya mengharapkan hal demikian terjadi pada kehidupan saya? Semoga ...semoga. Ya, semoga. Paling tidak, semoga tulisan ini bisa diperbanyak jika menurutmu ini bagus dan akan memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Hmmmm....
Ya Allah, buatlah hamba Mu ini selalu tersadar bahwa dunia adalah ‘kini’ dan ‘di sini’. Bahwa akan ada ‘kelak’ dan ‘di sana’, tempat sebenar-benar  kukembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar