Indias Nurul Aini

Foto saya
“Jangan Percaya Saya” Saya adalah seorang gadis kecil yang suka berbohong Kalau saya pinokio, maka hidung saya pastilah akan bertambah panjang tiap kali saya tersenyum dan tertawa sambil berkata,”hahaha saya baik-baik saja ^___^ “ dan kalau rahasia bisa diuangkan, pastilah saya sudah kaya raya

Minggu, 29 September 2013

Cerita Aneh (Bingung Judul. hihi )


Lama, gadis itu mendiamkan kekasihnya. Hanya karena mulai bosan, dengan kata cinta. Baginya, cinta semakin terasa tidak istimewa saja. Cinta memang menjanjikan banyak hal indah. Debar jantung yang merambat hingga ke seluruh kulit, rindu yg menjalar hingga ke lengan bahkan ujung jari bila sehari tak bersua,  hanyut dalam perasaan rekah merona setiap kali bertemu, hingga mimpi janji selamanya yang terwujud dalam cincin yang diselipkan sang kekasih di jari manis. Tak sampai di situ, cinta juga menawarkan buah hati yang sempurna bagi pasangan kekasih,keluarga kecil. Yang bahagia tentunya. Dan, sekali lagi ; selamanya.
Gadis itu masih mendiamkan kekasihnya. Pemuda yang sedang rantau,yang katanya demi membawa pulang sebuah cincin pernikahan untuk Si Gadis sekaligus menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Sekali lagi: janji. Berbulan-bulan lamanya, Si Gadis harus mengurung perasaan cintanya, buncah rindunya, perasaan perih menjaga cinta yang tak pasti. Kapan kekasihnya pulang, kapan kekasihnya tak lagi menawar janji untuk menunjukkan kesungguhannya, hanya pikiran yang mencekat tenggorokan Sang Gadis.
Purnama keempat telah berlalu. Sang gadis masih mendiamkan kekasihnya. Sapaan rutin,”Sudahkah bangun?” di pagi hari selalu juga dibalasnya rutin,” sudah” tanpa perasaan apa – apa lagi.
Si Gadis sudah hafal betul sapaan seperti apa yang akan muncul ketika siang,dan ia hanya perlu menjawab,”ya. Aku sudah makan siang”. Tak jauh beda pula ketika malam. Hanya selalu perlu menjawab,”iya. Malam ini saya mengajar” dan tak lagi menjawab ketika kemudian kekasihnya berpesan,”jangan lupa makan malam. Selamat berkarya..”.
Selesai. Sehari berlalu dengan sapaan yang tak jauh beda. Sehari, lalu sehari lagi, lalu sehari lagi, hingga berubah minggu, hingga yang manis terasa tawar. Hingga suatu yang dulu istimewa menjadi suatu hal yang membosankan. Dulu,gadis itu percaya ini adalah cinta. Tapi kenapa cinta bisa jadi hal yang membosankan seperti ini? Masihkah ini disebut cinta?
Si gadis mulai berpikir,apakah cinta itu. Dan mulai bertanya, benarkah pemuda itu sungguh mencintainya. Teringat pada pemuda di desa tak jauh tempatnya tinggal, rajin bertanya apakah Si Gadis sudah siap untuk menikah. Walau Si Gadis menjawab belum, pemuda yang tak pernah dilihatnya itu selalu menitipkan pertanyaan yang sama untuknya melalui Emila ,sahabat Si Gadis setiap pergantian musim. Sepatah pertanyaan yang sudah cukup diketahui si gadis apa maksudnya. Setiap hari,seiring dengan terbitnya matahari, diselingi dengan menjawab pertanyaan rutin kekasihnya yang rantau, Si Gadis selalu menyempatkan diri bertanya pada sang surya. Tentang darimanakah kesungguhan cinta dapat terbaca? Apakah dari kekasih hati nya yang sedang rantau demi selingkar cincin ataukah dari pemuda desa yang langsung bertanya tentang kesediaan menambatkan hati untuk selamanya?
Sang Gadis yang merasa perjalanan cintanya di situ-situ saja, akhirnya memutuskan untuk melalui hari yang benar-benar nyata di hadapannya. Kenyataannya, Sang Kekasih tak pernah ada di sisi. Kenyataannya, hatinya sudah tertambat pada yang jauh di sana, seolah tak bisa dilepas lagi walau ada yang menjanjikan perjalanan cinta yang sesungguhnya. Ah, di tengah rasa bosannya menjalani perjalanan cintanya itu, berkhianat sungguh jauh dari perbendaharaan kosakata yang dimiliki si gadis. Apalagi berkhianat soal cinta. Cukup sudah dulu hatinya patah karena dikhianati seorang pemuda pengecut yang selalu bersembunyi atas nama  persahabatan dengannya. Dan ia tau betul, luka itu walau kering namun siap menganga kapan saja setiap kali memoar tentang pemuda itu kembali. Dan tentu saja Si Gadis tak perlu menjadi seperti pemuda itu, mengkhianati cinta.
Dengan pikiran dan perasaan yang mulai meghilang, Sang Gadis menjalani hari. Tak perlu lagi ucapan kata rindu bila ia merindui kekasihnya. Hanya cukup dengan tertidur, lalu menitikkan sedikit air mata ketika bermimpi bertemu kekasihnya yang rantau. Tak perlu lagi mengucapkan selamat tidur, sebab hari-hari yang dijalaninya sekarang sudah seperti tidur panjang. Tak ada hari baru, tak ada pagi yang baru, tak ada cuaca yang baru. Semuanya tetap sama, hari yang sama, pagi yang sama, cuaca yang sama..sebab tambatan hatinya juga tetap tak ada di sisi, tetap tak ada. Tetap tak ada.
Tak ada. Dua kata yang semakin akrab untuk kehidupan Si Gadis. Dua kata yang semakin dipahaminya. Bahwa ‘tak ada’ itu artinya sama dengan ‘tidak ada’. Seperti tidak ada kekasihnya, tidak ada di dunia nyata, tidak hadir di sampingnya, tidak ada cinta, tidak ada tawa, tidak ada kupu-kupu , tidak ada pelangi , masih tetap mendung. Tidak ada yang datang dari rantau, tidak ada janji yang tertunaikan, tidak ada lagi mimpi, semakin lama dipahami, arti dari tidak ada adalah tidak ada lagi kehidupan. Tidak ada kehidupan...
Beberapa tahun berlalu, Sang Gadis masih selalu setia pada kursi di terasnya. Selalu duduk menerawang ke ujung halaman rumah, berharap kekasihnya berbaik hati untuk membebaskannya dari tali kekang yang melilit hatinya, yang belum juga lepas karena tertambat pad hati sang kekasih. Sang gadis mulai berpikir, bahwa mungkin lebih baik kekasihnya menyuruhnya untuk melepaskan tali itu. Tali tambatan yang selama ini dipertahankannya untuk tetap ada hanya karena ingin setia. Orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahnya selalu memandangi gadis kita iba. Tatapan iba karena mengibai kesetiaan Sang Gadis, ataukah mengibai kebodohan Sang Gadis karena terlalu setia.
Tak tau sejak kapan, rasa rindu berubah menjadi setangkai dandelion yang kering, hanya mampu terhempas ke sana kemari setiap kali di tiup angin. Jatuh di mana-mana, teserak. Namun tak menjanjikan kehidupan yang baru. Terbang ke mana, mati di sana. Tebang kemari, mati di sini. Tak tau pula sejak kapan, rasa cinta berubah menjadi tanah yang tandus. Tak lagi dapat menumbuhkan segala hal yang buruk menjadi indah. Yang ada, hal indah yang datangpun, jadi terasa ikut kering, layu sebelum tumbuh dan akhirnya mati.
            “Delia, aku datang. Aku datang, Delia. Untukmu! Untuk kita! “, seseorang bersimpuh di hadapan Delia. Berlutut, meraih pelan kedua telapak tangan kekasihnya syahdu. Gadis itu menatap dua bola mata di hadapannya. Bola mata yang tiga tahun lalu dirinduinya. Bola mata milik kekasih hati yang selama ini setia tinggal di hatinya tanpa seorang pun tau bahwa setitik kesetiaan itu membutakan segalanya. Membutakan siapa yang datang dan pergi. Membutakan rasa cinta itu sendiri.  Delia masih tergugu menatap sepasang mata elang itu.
“Sayang, tidakkah ini yang kita harapkan? Aku akan menikahimu, Wahai wanita pujaanku. Aku kembali!”, pemuda itu makin menggenggam erat kedua tangan Delia. Tatapannya seolah menggali.kedua mata kekasihnya, mencari sesuatu yang dulu ada di sana.
“Maaf. Maaf. Maaf. . . . “, Sang Gadis tiba-tiba saja tersedu hingga terguncang dua bahu nya. Menangis seperti anak kecil yang kehilangan ibu nya.
“Ada apa sayang ??”, pemuda itu mengangkat dagu Delia, memandang gadis pilihannya yang sedang terisak. Delia memalingkan wajah sambil masih tersedu sedan.
“Ini aku, Stavino. Tatap aku Delia! Aku kekasihmu!”, Stavino mengguncang kedua bahu bidadarinya. Seolah berusaha membangunkannya dari tidur panjang. Delia menepis lengan Stavino dengan  sisa tenaga di sela isaknya.
“Maaf, maafkan aku. Jangan begini. Aku sedang menunggu kekasihku. Aku sedang menunggu kekasihku! !”
**The End**

Setumpuk Surat Yang Tak Pernah Sampai







Aku tahu, cinta adalah sebagian kecil dari apa yang harus kita jalani dalam hidup yang hanya sekali ini. Semua orang pernah jatuh cinta, bahkan orang cacat mental sekalipun. Dan  saya yakin di hati setiap orang  pernah terbesit tentang pertanyan siapakah yang benar-benar ia cintai di kehidupan ini hingga akhir hayatnya, siapakah yang benar-benar ia cintai setulus hati, siapakah .. siapakah dan siapakah.

Banyak orang menikah namun yang menjadi cinta sejatinya adalah seseorang yang mungkin tidak mengenalnya di masa lalu. Banyak orang malah memilih tidak menikah karena tidak bisa melupakan cintanya di masa lalu. Orang menikah, tapi lalu bercerai. Orang menikah, kemudian selingkuh. Pernikahan itu mungkin sebuah ikatan cinta. Tapi tidak selalu merupakan ikatan cinta sejati. Kira-kira begitukah? Cinta sejati. Apa itu cinta sejati? Semua orang selalu menyebutnya. Seorang istri yang baik akan mengatakan bahwa cinta sejatinya adalah suaminya. Tidak mungkin ia akan berkata dan mengaku bahwa seseorang di masa lalu adalah cinta sejatinya. Namun, ia mampu mencintai suaminya dengan sepenuh hati karena cinta yang karena Allah, cinta yang telah Allah pilihkan untuknya dan itu lah yang nyata. Maka dengan segera cinta sejati yang dimaksud itu mampu tergantikan dengan cinta yang sesungguhnya. Aku sedang ingin bercerita tentang cinta. Tapi makna cinta yang kupahami hingga saat ini sangatlah luas. Belum lagi dapat memahami arti cinta, aku harus kembali membedakan mana cinta sejati dan mana yang bukan. Lalu, aku memahami satu hal yang sederhana dalam kehidupan ini tentang cinta sejati. Cinta sejati adalah cinta antara dua anak manusia yang terikat dalam ikatan suci pernikahan, mampu melangsungkan kehidupan bersama-sama, saling mengingatkan dan mengajak dalam kebaikan, bersama menaiki tangga menuju syurga. Adapun cinta selain itu, kau boleh menamainya apapun itu. Aku belum tau banyak mengenai definisi cinta, aku hanya mengalaminya tanpa tahu apa yang kurasa dan aku hanya tau aku tak perlu mendefinisikannya. 

Di sini aku akan bercerita tentang seorang lelaki yang kukenal baik. Seperti yang kubilang sebelumnya, aku tidak pandai mendefinisikan apa yang sedang kurasa dan kurasa itu tidak lah perlu. Hanya cukup tau bahwa ia datang padaku menawarkan sebuah pertemanan. 

Saat itu aku tengah duduk di bangku 3 SMP. Saat kami berkenalan, kita tidak sungguh-sungguh saling kenal. Kami hanya mengetahui bahwa kami bersekolah di boarding school yang sama, di tingkat yang sama, dan asal daerah kami yang sama. Berawal dari kesamaan asal daerah itulah kami menjadi saling kenal, dan teman-temanlah yang mendekatkan kami. Karena kami tinggal di asrama yang terpisah, kami tidak pernah bertemu. Hanya sekedar saling sapa lewat handphone ketika orangtuaku datag menjenguk atau ketika teman-temanku sedang usil membawa hp dari rumah. Ya, memang lucu kedengarannya. Tapi seperti itulah peraturan di sekolah kami, segala alat komunikasi tidak ada yang dimiliki oleh individu karena sekolah kami berusaha menyamakan status sosial antar murid,terlebih lagi di asrama. Sebagai gantinya, sekolah kami menyediakan sarana warnet dan wartel sebagai alat komunikasi. Terkadang, lelaki itu meneleponku dari iphone asrama, sekedar menanyakan kabarku. Kadang aku juga menyempatkan diri online di warnet, berharap-harap cemas dia juga sedang online sehingga kami bisa mengobrol apapun lagi. Entahlah, kurasa dia teman yang menyenangkan. Dan aku sering bertukar informasi dengannya mengenai kehidupan di asramaku dan asramanya. Dua asrama dan sekaligus sekolah yang terpisah tempat namun satu naungan (yayasan). Ya, ada sekolah putra dan sekolah putri. Spesifikasi dan diferensiasi gender dirasa perlu agar fokus belajar kami tidak terganggu oleh hal-hal sepele terkait dunia remaja yang jarang bisa dikendalikan. Kupikir kepala yayasan tidak ingin mengambil resiko menangani anak didiknya mengenai kasus-kasus di luar akademik. Apabila ketahuan pacaran dengan sesama siswa, akibatnya langsung drop out. Ketahuan ‘tekdung’, lebih-lebih lagi. Sekolah yang aneh di tengah zaman yang modern seperti ini. Namun sekolah kami mampu menjadi sekolah unggulan karena prestasi-prestasi yang diraih mampu 3 kali lipat daripada sekolah – sekolah yang ada kota ini. Itulah yang membuatku ingin berada di sini, aku suka hal-hal yang berbeda. Lagipula ketika aku memutuskan untuk meneruskan lalu mendaftar sekolah di sini, aku belum memikirkan bagaimana kehidupanku di sisni nantinya, yang kutau aku akan menjalani kehidupan yang 100% berbeda daripada anak-anak lainnya. Dan aku suka itu.


Kembali pada sosok teman lelaki pertama yang kupunya semenjak aku berada di sekolah ini. Mendapatkan teman baru dari asrama sebelah merupakan hal yang baru buatku. Rasanya cocok saja ketika berbicara dengannya. Menyenangkan. That’s all what i feel. Walau tak tau bagaimana wajahnya, bagiku itu bukan hal penting selama aku masih kontak dengannya dan semakin mengetahui kepribadiannya. Ia tidak merokok. Ia suka sepak bola namun tidak memainkannya. Ia suka komputer. Ia suka design grafis. Ia sempat diperebutkan di divisi intelektual osis dan divisi kesenian osis. Ia anak ke dua dari empat bersaudara. Ia sederhana. ia pandai bernegoisasi. Ia seorang yang lembut. Ia suka sekali memberiku sebutan sekaligus bercanda. Ia tak pernah menyalahkanku. Ia selalu menyemangatiku. Ia perhatian padaku. Dan pada akhirnya, ia selalu ada di pikiranku. 

Ya,ia ada di pikiranku dan kurasa aku juga mulai ada di pikirannya. Sebagai teman, setahun kemudian kami bertambah dekat dan menjadi seperti sahabat.  Kami semakin dekat, terlebih lagi setelah kami tak sengaja bertemu dalam suatu acara sekolah. Ketika aku pulang ke rumah, kami tetap berkomunikasi bahkan semakin lancar saja. Hampir setiap hari kami bertukar cerita. Tak jarang aku menjadi sering tertawa ketika ia bercerita tentang sebuah lelucon. Berteriak untuk jagan ada yang mengangkat telepon ketika teleponrumah berdering sambil lari terbirirt-birit menjadi kebiasaan baruku. Tertawa sendiri ketika menelepon mejadi hobi baruku. Akhirnya seisi rumah pun tau bahwa aku sedang dekat dengan seseorang. Hm... saat itu aku tidak tau apa yang seddang terjadi padaku. Aku hanya tau bahwa aku senang ada dia di hari-hariku. Itu saja.

Hari-hari berlalu bahkan bulan, tak terasa berganti tahun pula. Kami duduk di bangku SMA, akhirnya. Semakin dewasa, tanpa sdikitpun kedekatan kami berkurang. Entahlah, kurasa aku tau apa yang sedang terjadi pada kami namun aku tak berani mendefinisikannya. Aku takut bahwa semua ini akan berubah. Dan bila ia juga menyadari apa yang terjadi pada kami, biarlah menjadi urusannya. Bila yang kurasa adalah cinta, lalu memangnya kenapa? Apakah harus diungkapkan? Bukankah cinta adalah rasa, bukan kata. Terlebih lagi, aku wanita. Tidak mungkin aku mengatakan dan menyadarkannya bahwa ini adalah cinta. Jadi aku memilih menjalani saja, lagipula aku nyaman-nyaman saja, tidak perlu mendefinisikan apa yang kurasa tidak pula perlu menamai apa jenis kedekatanku dengannya. Aku hanya cukup tau bahwa ia tidak punya teman wanita sedekat persahabatanku dengannya, dan begitu pula aku tidak punya teman lelaki sedekat persahabatanku dengannya. Apa? Persahabatan? Bukankah itu sudah nama dari suatu hubungan? Hm..entahlah, suatu cinta yang belum punya nama, kadang definisi persahabatan lah yang paling sering menjadi kambing hitam. 

Kelulusan. Satu kata yang berarti gerbang kebebasan bagi kami yang tinggaldi sekolah asrama. Kuliah. Enam huruf ajaib yang mampu memberikan kami banyak impian dan hari-hari baru untuk dijalani. Dua moment itu tidak terasa lengkap bagiiku tanpa satu kata yang ketiga; Bandung. Ya, aku gagal mendapatkan kabar lulus dari seluruh universitas yang ada di Bandung yang kudaftar. Aku tidak lolos seleksi. Aku lolos seleksi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seketika mimpiku terasa terhenti. Mimpiku ada di Bandung. Dua, tuga atau sepuluh tahun lagi bagiku tetap sama. Mimpiku ada di bandung. Aku lebih terpuruk lagi ketika mengetahui dia lolos seleksi Institut TELKOM bandung. See? Kami mengusahakan untuk melanjutkan hidup di kota yang sama, namun aku tidak berhasil. Aku yang tidak berhasil. Masih teringat betul, di setapak jalan taman monumen nasional, ia menyemangatiku agar terus melanjutkan kehidupanku di jogja. Sesekali aku masih bisa ke bandung, dan yang terpenting persahabatan kami akan tetap terus berlanjut. Ketika itu aku masih takut dan ragu apakah benar kami akan berjarak seperti ini dan aku sudah bulat untuk hidup di Yogyakarta, sebuah kota yang terasa asing bagiku sebelumnya. Ketika itu pula aku menatap matanya dalam, dan mencari kesungguhan apakah ia yakin padaku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku bahkan berkata padanya bahwa jika ia memintaku untuk di bandung, maka aku akan mendaftar kuliah lagi di bandung melepas UGM. Namun ia menggeleng, berkata bahwa apa haknya menentukan arah hidupku, sementara aku masih memiliki kedua orangtuaku yang berharap aku meneruskan di UGM dan masih memiliki diriku yang lebih bisa memilih.
.............................................................................................................................................................................................................
Hari-hari berlalu. Rasa kehilangan yang aku takut akan muncul, kini benar-benar nyata. Kesepian yang dulu hanya ada di sudut perkiraaanku, kini benar-benar melingkupiku. Setahun ini aku seperti bukan aku saja. Aku hampa dan aku kosong. Aktivitasku menurun, aku banyak melamun dan menghabiskan waktu di kos dengan menangis, menatap benda-benda yang bisa membangkitkan memoriku padanya. Ketakutanku menjadi kenyataan. Ia menghilang dari hidupku. Ketakutanku ini membuatku menjadi seorang pengecut. Yang hanya mencari kabarnya lalu menangisinya, menuliskan kata-kata di sms yang selalu kuhapus lagi, mengisi lebih banyak lembar buku harianku dan menuliskannya dalam bait-bait tulisan di sepucuk surat yang kubuat hampir setiap hari. Surat-surat yang selalu berakhir di dalm sebuah kotak marun, surat-surat yang tak pernah sampai.
:)