Indias Nurul Aini

Foto saya
“Jangan Percaya Saya” Saya adalah seorang gadis kecil yang suka berbohong Kalau saya pinokio, maka hidung saya pastilah akan bertambah panjang tiap kali saya tersenyum dan tertawa sambil berkata,”hahaha saya baik-baik saja ^___^ “ dan kalau rahasia bisa diuangkan, pastilah saya sudah kaya raya

Rabu, 02 April 2014

sahabat sang nurani

Jika tiap kesalahan kita selalu dipertimbangkan,
 sungguh di dunia ini tak ada lagi orang yang layak memberikan nasihat.

Memang merupakan kesalahan
Jika kita terus saja saling menasehati
Tetapi dalam diri tak ada hasrat untuk berbenah
Dan menjadi lebih baik lagi di tiap bilangan hari

Tapi adalah kesalahan juga
Jika dalam ukhuwah tak ada saling menasehati

Dan adalah kesalahan terbesar
Jika kita enggan saling menasehati hanya agar kita sendiri tetap
Merasa nyaman berkawan kesalahan

Subhanallah, di jalan cinta para pejuang
Nasehat adalah ketulusan
Kawan sejati bagi nurani
Menjaga cinta dalam ridha Nya

-Salim Akhukum Fillah, dalam buku Jalan Cinta Para Pejuang-
So, jangan lihat kepada siapa yang menasehati dan sibuk menimbang seberapa layak dia menasehati kita. Tetapi lihat pada pesan yang disampaikannya, nasehat yang diberikannya. Sebab telah disampaikan di atas, nasehat adalah ketulusan. Kawan sejati bagi nurani.


Bertanya Pada Hati

Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitabNya untukk membimbing manusia agar meniti jalan yang lurus. Mungkin pemahaman masing-masing manusia terhadap wahyu berbeda. Mungkin perkenalan tiap-tiap manusia dengan RasulNya juga tak merata. Tetapi masih ada satu perangkat lagi yang ditanam Allah dalam diri manusia untuk mengenali kebaikan dan memilihnya. Itulah nurani.

Sungguh tiap kali berhadapan dengan suatu keadaan, ada seberkas bisikan dalam nurani agar kita melakukan hal yang benar dan yang lurus. Allah memberi kita bekalan fitrah untuk mengenali kebaikan dan keburukan, lalu memberi kita kuasa untuk memilihnya.

Tak ada yang lebih jernih dari suara hati, ketika ia menegur kita tanpa suara. Teguran yang begitu halus, begitu bening,begitu dalam. Tak ada yang lebih jujur dari hati nurani saat ia menyadarkan kita tanpa kata-kata. Nasehatnya begitu bening dan kita tak kuasa menyangkal. Tak ada yang lebih tajam dari mata hati ketika ia menghentak kita dari beragam kesalahan. Begitu tipis, begitu mengiris. Berbahagialah orang-orang yang seluruh waktunya dipenuhi kemampuan untuk jujur pada nurani dan tulus mendengarkan suara hati.

“Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah apa-apa yang tentram dalam jiwa dan tentram pula dalam hati. Dan dosa adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, meski orang lain memberikan fatwa kepadamu dan membenarkanmu (H.R Muslim)”

Hati bicara tanpa kata, menjawab tanpa suara dan sering menyengat tanpa terlihat. Tapi ia terasa. Sebab dari sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sanalah amal-amal dan segala proses kehidupan kita menapakkan pijakannya berupa niat dan tekad. Maka Rasullullah menggambarkan, bahwa hati adalah raja. Jika ia berdenyut baik, maka baik pula seluruh raga yang berdetak dalam iramanya. Jika ia 
rusak, maka rusak pula semuanya.

Setiap kemaksiatan yang kita lakukan menjadi noktah dosa yang menghitamkan hati. Awalnya, nurani akan selalu mengirimkan tanda bahwa ia tersakiti. Tapi ketika hawa nafsu diperturutkan dan maksiat terus dilakukan, diulang dan diulang, noktah-noktah dosa telah menjadi jeruji, membelenggu nurani hingga suaranya makin lirih. Hingga suatu ketika, hati mati rasa. Hukuman terberat atas suatu dosa, kata Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khathir, adalah perasaan tidak berdosa. Ya, karena merasa tak berdosa adalah kain kafan yang membungkus hati ketika ia mati.

Mengotori hati dengan dosa sama artinya dengan meredupkan cahayanya dan memadamkan nyalanya. Bermaksiat adalah kerja untuk mengeruhkan kejernihan hati dan menumpulkan ketajamannya. Sesungguhnya dosa-dosa itu, kata Rasulullah, apabila terus menerus menimpa hati, maka akan menutupinya. Dan bila hati telah tetutup, akan datang kunci dan cap dari Allah. Bila sudah demikian tak ada lagi baginya jalan; tidak ada jalan keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak ada juga jalan kekafiran untuk keluar darinya.

Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa.
Jika suatu kedurhakaan berulang kali dikerjakan, maka jiwa menjadi akrab dengannya hingga ia tak lagi peka, mati rasa. .
(Hasan Az Zayyat,Rahiahullah)

Kadang kita memerlukan saat-saat sepi untuk bertanya pada hati. Dalam tafakur malam yang sunyi misalnya, mudah-mudahan bisikan nurani itu terdengar lebih jelas. Atau satu waktu kita coba mengambil jeda dari rutinitas,mengisinya dengan aktivitas ruhani. Mudah-mudahan saat itu kita bisa mengenali suara hati dari antara bising-bising nafsu.

Lebih jauh lagi, kita harus mengakrabkan hati dengan wahyu. Karena mereka bersaudara. Karena mereka membawa pesan cinta yang sama. Untuk kita. Maka alangkah syahdunya hari-hari yang dilangkahi dengan tilawah suci. Lalu kita mentadaburinya. Lalu kita kaji tafsirnya. Maka hati akan tersenyum bahagia menjadikan Al-Quran kawan bergandengan tangan. Membimbing kita. Maka nurani akan berbisik lebih mesra. Hingga kita bahagia mendengar bisikannya yang menyemangati kita berbuat taqwa.


-Salim Akhukum Fillah, dalam buku Jalan Cinta Para Pejuang-