Allah mengutus Rasul dan
menurunkan kitabNya untukk membimbing manusia agar meniti jalan yang lurus.
Mungkin pemahaman masing-masing manusia terhadap wahyu berbeda. Mungkin
perkenalan tiap-tiap manusia dengan RasulNya juga tak merata. Tetapi masih ada
satu perangkat lagi yang ditanam Allah dalam diri manusia untuk mengenali
kebaikan dan memilihnya. Itulah nurani.
Sungguh tiap kali berhadapan
dengan suatu keadaan, ada seberkas bisikan dalam nurani agar kita melakukan hal
yang benar dan yang lurus. Allah memberi kita bekalan fitrah untuk mengenali
kebaikan dan keburukan, lalu memberi kita kuasa untuk memilihnya.
Tak ada yang lebih jernih dari
suara hati, ketika ia menegur kita tanpa suara. Teguran yang begitu halus,
begitu bening,begitu dalam. Tak ada yang lebih jujur dari hati nurani saat ia
menyadarkan kita tanpa kata-kata. Nasehatnya begitu bening dan kita tak kuasa
menyangkal. Tak ada yang lebih tajam dari mata hati ketika ia menghentak kita
dari beragam kesalahan. Begitu tipis, begitu mengiris. Berbahagialah
orang-orang yang seluruh waktunya dipenuhi kemampuan untuk jujur pada nurani
dan tulus mendengarkan suara hati.
“Mintalah fatwa kepada hatimu.
Kebaikan adalah apa-apa yang tentram dalam jiwa dan tentram pula dalam hati.
Dan dosa adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, meski
orang lain memberikan fatwa kepadamu dan membenarkanmu (H.R Muslim)”
Hati bicara tanpa kata, menjawab
tanpa suara dan sering menyengat tanpa terlihat. Tapi ia terasa. Sebab dari
sanalah banyak tindakan dan perilaku kita mengambil kiblatnya. Dari sanalah
amal-amal dan segala proses kehidupan kita menapakkan pijakannya berupa niat
dan tekad. Maka Rasullullah menggambarkan, bahwa hati adalah raja. Jika ia
berdenyut baik, maka baik pula seluruh raga yang berdetak dalam iramanya. Jika
ia
rusak, maka rusak pula semuanya.
Setiap kemaksiatan yang kita lakukan menjadi noktah dosa yang
menghitamkan hati. Awalnya, nurani akan selalu mengirimkan tanda bahwa ia
tersakiti. Tapi ketika hawa nafsu diperturutkan dan maksiat terus dilakukan,
diulang dan diulang, noktah-noktah dosa telah menjadi jeruji, membelenggu
nurani hingga suaranya makin lirih. Hingga suatu ketika, hati mati rasa.
Hukuman terberat atas suatu dosa, kata Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khathir, adalah
perasaan tidak berdosa. Ya, karena merasa tak berdosa adalah kain kafan yang
membungkus hati ketika ia mati.
Mengotori hati dengan dosa sama
artinya dengan meredupkan cahayanya dan memadamkan nyalanya. Bermaksiat adalah
kerja untuk mengeruhkan kejernihan hati dan menumpulkan ketajamannya.
Sesungguhnya dosa-dosa itu, kata Rasulullah, apabila terus menerus menimpa
hati, maka akan menutupinya. Dan bila hati telah tetutup, akan datang kunci dan
cap dari Allah. Bila sudah demikian tak ada lagi baginya jalan; tidak ada jalan
keimanan untuk masuk ke dalamnya, tidak ada juga jalan kekafiran untuk keluar
darinya.
Yang paling aku takutkan ialah
keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa.
Jika suatu kedurhakaan berulang
kali dikerjakan, maka jiwa menjadi akrab dengannya hingga ia tak lagi peka,
mati rasa. .
(Hasan Az Zayyat,Rahiahullah)
Kadang kita memerlukan saat-saat
sepi untuk bertanya pada hati. Dalam tafakur malam yang sunyi misalnya,
mudah-mudahan bisikan nurani itu terdengar lebih jelas. Atau satu waktu kita coba
mengambil jeda dari rutinitas,mengisinya dengan aktivitas ruhani. Mudah-mudahan
saat itu kita bisa mengenali suara hati dari antara bising-bising nafsu.
Lebih jauh lagi, kita harus
mengakrabkan hati dengan wahyu. Karena mereka bersaudara. Karena mereka membawa
pesan cinta yang sama. Untuk kita. Maka alangkah syahdunya hari-hari yang
dilangkahi dengan tilawah suci. Lalu kita mentadaburinya. Lalu kita kaji tafsirnya.
Maka hati akan tersenyum bahagia menjadikan Al-Quran kawan bergandengan tangan.
Membimbing kita. Maka nurani akan berbisik lebih mesra. Hingga kita bahagia
mendengar bisikannya yang menyemangati kita berbuat taqwa.
-Salim Akhukum Fillah, dalam buku
Jalan Cinta Para Pejuang-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar