Mampukah aku menjelma menjadi
bidadari seperti yang diimpikannya? Yang cukup dengan kehadiranku, tak perlu
merasa ingin mendapatkan istana sebab ia telah bersama seorang ratu yaitu aku.
Yang tidak merasa perlu ada fasilitas mewah dan segala hotel berbintang sebab
aku selalu menyertakan cintaku di atas apapun yang kulakukan untuknya, walaupun
seandainya yang bisa kuberikan hanyalah cinta di atas sebuah tempe goreng. Yang
tanpa perlu menghadirkan kereta kencana, ia merasa cukup sebab aku adalah
bidadarinya.
Aku tau ia mencintaiku.
Teramat. Bahkan mungkin lebih
besar dari cintaku padanya. Dan bila terluka hatiku, luka di hatinya bisa jauh
lebih menganga. Tapi tetap saja. Walaupun aku tahu jelas hal itu, kenapa masih
saja aku sering membiarkannya tahu setiap kali ia tidak sengaja membuatku
terluka. Dan aku juga tau ia selalu berusaha menjadi yang terbaik untukku
seperti apapun keadaannya. Tapi kenapa masih saja aku selalu membuatnya merasa
menjadi buruk di segala hal terhadapku.
Ya. Dia bilang, aku bidadari.
Tetap bilang bahwa aku bidadari,
bahkan setelah semua yang kukatakan padanya tentang semua kekecewaanku.
Kata-kata singkat hasil dari emosi sesaat dan keegoisan yang menginginkan
sesuatu yang lebih dari kemampuannya di saat dia jauh dari pandanganku.
Tetap bilang bahwa aku bidadari,
bahkan selagi aku ngambek karena sesuatu hal kecil yang seharusnya bisa jadi
bukanlah persoalan yang rumit.
Entah masih pantaskah aku disebut
bidadari. Kurasa,belum. Belum, sebab sikap yang kutunjukkan selama ini bukanlah
tentang ngambek saja lalu menjadi diam. Bukan tentang setelah membuatnya merasa
buruk lalu aku menjauh dan hanya bisa menyimpan rasa bersalah. Sungguh bukan
tentang itu. Sebenarnya dalam benakku, setelah ngambek dan jadi diam, ada
kalanya aku ingin meluapkan rasa bersalahku dengan memeluknya. Tanpa
bicara, kuingin mampu tunjukkan bahwa sesungguhnya aku menyayanginya.
Menyampaikan kegundahan dan kekecewaanku tanpa aksara, sebab dengan bicara
ternyata aku hanya bisa memperburuk keadaan.
Sekarang ini aku hanya mampu
menyakiti, tanpa bisa membenahi. Aku hanya selalu menerima maafnya, tetapi
tidak pernah meminta maaf. Aku hanya mampu menulis di atas kertas betapa
bahagianya aku ketika dia berkata bahwa ia mencintaiku tanpa bisa membalas
pernyataannya itu. Seandainya bisa pun, setelah aku berkata bahwa aku juga
mencintainya maka ada sisi hatiku yang teriris dan seolah berbisik,’kau telah
menodai dirimu sendiri’. Beribu maaf ingin kulayangkan padanya, ketika aku membiarkannya
terkurung dalam kesedihan karenaku. Tapi maaf, sekarang aku belumlah
bidadarimu. Aku hanyalah gadis kecil, yang tukang ngambek, pembuat masalah
sepele menjadi persoalan rumit, mudah kecewa, sensitif, egois, tanpa bisa
membenahi hatinya setelah menumpahkan semua kepadanya.
Sekarang biarkan aku memberi
pertanyaan.
Bisakah sejenak ia melupakanku?
Bisakah sejenak ia meninggalkanku? Membiarkanku menjadi kupu-kupu di saat yang
tepat. Sungguh tak bisa aku menjadi bidadari sebelum saatnya. Sama seperti ulat
yang tak kan bisa menjadi kupu-kupu cantik walaupun kau robek paksa ia keluar
dari kepompongnya.
Tapi, disisi lain, baliklah
pertanyaannya. Menjadi retorika untuk diriku sendiri.
Bisakah sejenak aku melupakannya?
Bisakah sejenak aku meninggalkannya? Membiarkan aku sendiri. Menafikan bahwa
sesungguhnya dia memang sudah terlanjur ada di hatiku. Berpura-pura tidak
merindukannya.
Mau tau jawabannya?
Yang jujur atau yang bohong?
Yang jujur?
Jangan deh. Itu hanya akan
memperjelas semuanya
Yang bohong saja?
Oke. Sebab kurasa itu akan
membuatku semua yang kurasa tidaklah nyata.
Jadi, jawaban bohongnya adalah, .
Aku bisa melupakannya. Aku bisa
tanpanya. Aku bisa sendiri dan merasa baik-baik saja. Haha, dan yang benar
saja! Dia memang sudah ada dalam hatiku tapi sepertinya aku bisa memendamnya
dulu dan tidak menunggu juga mencarinya jika dia tidak ada. Aku bisa meredam
rinduku padanya hingga tiba saatnya nanti aku menjadi seorang bidadari yang
sesungguhnya.
Jadi bagaimana? Sudah lihat kah
perasaan seorang gadis kecil yang merana karena mencintai sebelum waktunya?
Seperti ulat yang sudah dianggap menjadi kupu-kupu. Ini salah,bukan? Memang
sepertinya sudah salah dari awal.
Tapi selalu, dalam kisah cinta tidak
ada yang salah. Hanya di saat yang belum tepatlah semua jadi serba salah.
Pada saat itu, mencintainya menjadi sebuah kesalahan. Tidak mencintainya pun,
suatu kesalahan sebab aku tidak bisa menafikan hatiku sendiri bahwa aku
mencintainya. Kau tau? Akan terasa sakit bila mengingkarinya. Itu masalah hati.
Dongeng klasik memang selalu
memberikan ‘happily ever after’. Dan memang benar, kebahagiaan itu adalah
mencintai seseorang di waktu yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar