Suatu hari, saya lagi benar –benar bete makan ikan terus. Bukannya nggak besyukur,
tapi saya penasaran, masa sih tinggal di
kelilingi pantai begini tapi makan seafood nya ikan lagi ikan lagi. Emangnya
nggak ada yang lain, apa?? Saya pun menggalau dengan judul ‘mau makan apa’,
jalan-jalan di tepi pantai dekat koramil.
“Kakak,
sedang apa kah?”, Junita, bocah kelas 5
SD itu entah dari mana datangnya, berlari-lari kecil menghampiri saya. Telapak
kakinya masih belum sembuh juga, kena pecahan kaca miggu lalu.
“Lagi
jalan-jalan aja, Jun. Eh, kakimu itu belum sembuh kan? Awas kena air lho nanti
nggak sembuh-sembuh”, kata saya.
“Ah,
tidak. Sa hanya jalan – jalan di pinggir pantai saja. Kakak jalan-jalan cari
apa kah?”
“Di
sini selain ikan, apa lagi sih Jun yang bisa di makan? Kerang ada nggak? Atau
cumi-cumi, sotong, atau apa kah gitu. Tidak ada kah di sini?”, tanyaku.
“Ah!
Sotong? Sotong ada! “, jawabnya ddengan mata berbinar-binar.
“Ada??
Di mana kah? Itu dipancing, kan? Ayo kita mancing sotong!”, jawabku
bersemangat.
“Tapi
kita harus cari ikan kecil dulu kak untuk umpannya”, jawab Junita. Yah,males gue. Dua kali pekerjaan dong!
Mancing ikan dulu, trus baru mancing sotong! Mending kalo dapet,kalo enggak?
Bisa-bisa umpannya yang ujung-ujungnya kita makan! Hadehh...
“Ng....yaudah
deh. Kalo gitu jangan sotong. Yang lain aja. apa yaaa?”, saya kembali berpikir,
sambil lihat-lihat sekitar pantai.
“Kakak,
bia boleh!” , tiba-tiba Junita berseru.
“Hah?
Apa?”
“Bia,
kak! Bia! Bia bres!”
“Hah?
Bebres?? Apa itu? ”
“Itu
dimakan, boleh!”
“Dimakan?
Bebres bisa dimakan? Oke, oke! Mancing juga kah itu?”, tanyaku antusias.
“Tarada!
Cari di dalam pasir saja. Gali-gali!”, kata Junita sambil sibuk mencari sesuatu
di pasir. Dia mengambil satu keping cangkang bivalvia yang cukup besar.
Bivalvia adalah kerang pipih yang punya dua tangkup cangkang. Yang diambil
Junita adalah cangkang bivalvia yang sudah mati, jadi sudah terbelah menjadi
dua. Junita mulai menggaruk pasir putih dengan cangkang bivalvia itu. Saya ikut
jongkok bersamanya, mengamati.
“Nah,
ini Kakak, bia bres nya”, kata Jun sambil menyerahkan sesuatu yang mungil di
telapak tangannya yang berpasir.
“Oh..
kerang?”
“Ya!
Ini Bia! Bia bres! Bisa dimakan, kakak!”
Saya
memandangi ‘benda mungil’ di tangannya. Benda mungilitu biasa kita sebut kerang
kalo di Jawa. Kalo di papua, Jun bilang namanya Bia. Tapi saya nggak langsung
ngeh kalo ternyata ejaannya adalah Bia Bres. Saya mengira, itu bebres, beibres,
atau pelafalan yang semacam itu. Setelah saya melakukan observasi nama-nama
lokal untuk kerang-kerang yang ada di situ, baru lah saya tau bahwa mereka
menyebut kerang dengan sebutan Bia. Ada Bia Bres, Bia Kakawai, Bia Ronda, dan
lain-lain. Tapi buat makan? Ukurannya kecil banget! Paling Cuma 1 – 1,5 cm. Ini
mah emangnya cukup buat makan?
“Jun,
yang agak besar dikit ada nggak? Kakak mana kenyang makan ini. Ini nanti gimana
cara masaknya?”
“Ini
dimasaknya direbus, Kakak. Lalu dikasih serai dengan bawang putih, dengan
garam. Lalu dimakan deh! Enak kak!”, katanya. Okelah, saya agak nggak percaya
kalo barusan saya habis tanya resep untuk urusan perut ke bocah kelas 5 sd.
Saya berdoa aja semoga kerang ini emang bisa dimakan dan saya nggak keracunan.
Daripada saya makan ikan lagi, bosan!
“Ooooo..
yang lebih besar ada kah tidak?”
“Ng..ada
sih. Tapi di sana kak”, Jun menunjuk ke arah hutan bakau di selatan sana.
“Engg,,
di sana ya? Yaudah deh kapan-kapan aja kita ke sana. Sekarang kita cari yang
ini aja deh, gak apa apa. Tapi cari yang banyak ya Jun. Jun mau bantu kakak?”,
kataku. Ngeri juga kalo cuma demi makan, mesti ke bakau-bakau sana. Hiyyyyy!
“Ya!
Saya bantu, kak! Mari!”, sahut Junita. Saya mulai menggaruk pakai tangan.
Awalnya, saya bingung karena bocah itu cepat sekali menemukan bia. Sementara
dia sudah dapat sepuluh bia, saya belum dapat apa-apa. Saya cuma bisa bengong.
Berkali-kali saya pindah tempat, mencari peruntungan kali aja faktor saya nggak
lucky dapat bia adalah saya mencari di tempat yang emang nggak ada bia nya.
Jadi, selama hampir lima belas menit, yang saya hasilkan cuma gundukan-gundukan
pasir yang berantakan di sana-sini tanpa menemukan bia satu pun. Garukan saya
semakin ngggak yahut lagi. Udah males! Gaaaak dapet-dapet, bete juga akhirnya!
“Jun!
Bia nya Cuma dikit ya? Nyari yang banyak
bia nya aja yuk!”, saya terduduk di atas pasir, mulai frustasi. Hoiiii bapak
dosen! Saya mau makan susah banget nihhhh. Pokoknya harus dapat A ya!
“Ka
Aini cari nya jangan di dekat-dekat air. Di situ tara banyak! Lalu, gali
pasirnya jangan pakai tangan. Pake ini! Supaya tipis-tipis saja!” , teriak
Junita sambil menahan tawa. Saya bilang dia teriak karena memang begitu
kedengarannya.padahal sih bukan teriak, hanya suara anak-anak Papua memang
keras dan lantang. Apalagi anak pesisir. Area yang luas dan jumlah penduduk
yang relatif sedikit, mungkin itulah yang membuat mereka bicara nya lantang.
Junita memberikan sebuah cangkang kerang yang pipih dan cukup lebar.
“ini
kak. Garuknya pakai ini saja, supaya cepat”, bocah itu memberikan arahan pada
saya.
Saya baru mengerti, ternyata menggaruk pakai
cangkang kerang pipih memang lebih mudah. Tangan jadi tidak sakit karena
menggaruk dan hasil garukannya pun lebih tipis. Begitu ada bia, akan berbunyi
‘tak!’. Ahahahaha ternyata ini dia rahasianya! Saya langsung bersemangat
kembali begitu berhasil menemukan satu bia.
Satu demi satu, kami kumpulkan bia bres yang kami
dapat ke dalam sebuah ember kecil berwarna hijau. Bia yang saya dapat, emang
nggak begitu banyak. Masih lebih banyak yang didapat Junita.
Bia bres hasil temuan kami itu lalu kami bawa dengan
riang menuju koramil.
“Kita
makan kerang! Makan kerang! Makan kerang!” teriak saya sambil berlari-berlari
norak menuju koramil. Hahaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar