Waktu kecil dulu, aku sering sebal sama ayah.Soalnya jadi makhluk paling ga asik di rumah. Ayah tidak selalu mengerti yang aku mau. Ayah juga tidak pandai memeluk sehangat ibu. Kupikir,ayah tidak suka bercanda dengan anak-anak sepertiku. Sehari juga jarang bertemu ayah. Pagi hari, kami sama sama pergi. Ayah ke kantor dan aku ke sekolah. Tapi kami naik di satu motor. Kami? ya, kami berdua. aku dan adik perempuanku hanya beda 2 tahun dan kami sekolah di satu sekolah yang sama. Kalau berangkat, selalu di antar ayah. Setelah mengantar kami ke sekolah, baru kemudian ayah pergi ke kantor. Ayah selalu bisa diandalkan kalau sedang menyetir motor. mau seperapapun kami ribut di motor, tidak akan jatuh. Karena ayah kan kuat. hehe. Beda dengan ibu. Sepulang sekolah, ibu yang akan menjemput. Dan naik motor bersama ibu, rasanya mengerikan. Ya, karena ibu tidak sekuat ayah. Jadi, kalau kemana-mana, lebih merasa aman bersama ayah. ^^
Pukul 4 sore, ayah pulang dari kantor. Mandi, lalu membaca koran. Malamnya, Aini kecil sering diminta untuk menginjak injak kaki dan badannya. Menyenangkan lho. hihi. Ya, hanya itu interaksi ku dengan ayah semasa kecil.
Tapi aku juga ingat ayah paling bisa menjadi hero ku. Apalagi kalau aku menangis. Pernah aku ingat, suatu malam Aini kecil sedang menangis karena dimarahi ibu. Lalu ayah tanpa berkata apapun menggendongku keluar rumah, sambil menepuk-nepuk punggungku..ayahku menawariku ini itu. Dan karena Aini kecil terus menggeleng, akhirnya ayah membelikanku seotol Coca Cola! Wah, ibu tak akan pernah melakukannya! Namun benar, karena ada hal baru yang ada di tanganku (Coca Cola), aku jadi lupa dengan tangisku, meraskan panas di perut dan kerongongan karena gas XD
Satu satunya hal mengasyikan yang kulakukan bersama ayah adalah kalau tentang masalah memelihara binatang. Wah, ayah paling asyik kalau diajak memelihara anak burung yang jatuh dari sarangnya, tentang memelihara kucing kecil yang berteduh di kolong kursi teras rumah kami karena kehujanan, tentang memelihara anak ayam, dan membuat kolam ikan kecil tidak lupa dengan 'terowongan' untuk ikan bermain. Kalau sama ibu pasti gak boleh. Ayah memang penyayang binatang. Ayahku keren lhoo ^__^
Memang sangat sedikit hal2 indah tentang ayah yang kuingat. Tapi sungguh hal yang amat menyenangkan bila diingat kembali.
Sekarang aku sudah dewasa. Cerita tentang aku dan ayah semakin banyak kudengar darinya dan juga dari ibu. Ketika aku kecil dulu (Short Term Memory), masa di mana aku tidak jelas mengingatnya..ternyata aku lebih dekat sama ayah dan lebih banyak hal yang kulakukan bersama ayah. Ternyata ayah yang meninabobokanku ketika aku harus tidur, dengan menggendongku di luar rumah, merebahkan kepalaku di pundaknya sambil menatap langit malam . Ayah juga yang membelikanku pisang saat tengah malam aku kelaparan dan aku ingin pisang, Berjalan kaki dari satu toko ke toko lain hingga tak terasa jauh sekali jaraknya hanya demi aku. Dan hal itu terulang kembali ketika aku ujian UM ITB,di kota bandung malam hari pukul sepuluh malam ayah mencarikanku pensil dan penghapus karena aku lupa menyiapkannya. Ayah berjalan mencari toko yang masih buka, sementara aku disuruhnya tidur karena harus bangun pagi. Tidur dalam keadaan merasa bersalah, T__T.
Seiring aku dewasa, aku semakin tersadar bahwa hubunganku dengan ayah tak hanya 'sekedar itu'. Tenyata hubunganku dengan ayah, lebih dari itu.
Dan ketika aku beranjak dewasa, dia lah yang paling memahamiku. Di saat ibu sudah menganggapku dewasa, ayah tetap menganggapku sebagai anak yang justru harus semakin diperhatikan.
Ayahku sekarang sudah berubah. Berubah menjadi ayah yang lebih baik.
Sekarang aku sudah 21 tahun. Walaupun begitu, aku masih saja merasa seperti gadis kecil ayah. Di saat usia ku kini, aku banyak belajar kehidupan darinya. Motivasi tentang kedewasaan dan menjadi gadis baik-baik, ayah yang memberikannnya.
Waktu
ayah datang kemarin, aku melihatnya setiap hari. Kulihat sosoknya semakin
bersahaja di mataku. Selalu bangun lebih pagi dariku padahal aku tau lelahnya
hari itu tidak seberapa dari lelahku. Tapi ia selalu membangunkanku shalat
subuh. Lalu setelah itu mengingatkanku untuk menonton acara mengaji bersama
Ust. Yusuf Mansur di televisi tiap pukul 5 pagi.
Kulihat
pengorbanannya untuk senantiasa menjaga shalat wajib nya di masjid. Kadang ia
harus ‘menyewa’ seorang tukang becak yang mengantarnya shalat dhuhur di masjid
untuk jangan lupa kembali lagi sebelum ashar agar ayah bisa shalat ashar di masjid.
Kadang ia juga harus jalan kaki.
Ah, ya..dulu ketika aku masih kecil, aku
ingat. Sampai sekarang masih ingat bagaimana cemas diriku dan hebat debar
jantungku saat menunggu kepulangan ayah dari masjid komplek. Saat itu hujan
deras sekali, petir menggelegar dan kilat sungguh mengerikan. Ayah hanya
memakai payung dan dengan berjalan kaki ia menuju masjid. Aini kecil sangat
cemas menunggu kepulangan ayahnya, terbesit pikiran bagaimana kalau ayah tidak
selamat sampai rumah, lalu jadi mengeluh kenapa mesti shalat di masjid padahal
cuaca sedang buruk begini. Lalu ketika bunyi gerbang didorong, aini kecil
langsung berlari menuju jendela ruang tamu, mengintip dari balik teralis besi
dan bahagia bukan main ketika sosok itu adalah ayahnya. Dan ketika ayah membuka
pintu rumah, ayah hanya terkekeh sambil berseru betapa derasnya hujan kali itu.
Aku termangu,ayah sama sekali tidak mengeluh? Sepertinya kecemasanku tidak
terbukti, hujan itu tidak menyusahkan ayah, ternyata. Atau barangkali baru sekarang aku
terpikir,..mungkin saja hujan itu menyusahkan ayah, namun kalah dengan betapa
ia menikmati setiap langkah untuk pergi ke masjid.
Dan ketika aku beranjak
dewasa, aku selalu berpikir..ketangguhan seorang lelaki bukan dari seberapa
kuat ia berjalan mendaki bukit dan jago olahraga tetapi seberapa kuat ia
bertahan menjaga dirinya agar selalu shalat di masjid.
Aku
punya seorang adik laki-laki. Satu-satunya laki-laki selain ayah di keluarga.
Dia kelas 2 SMA dan sangat diharapkan ayah untuk menjadi anak lelaki
kebanggannya. Sejak kecil, adikku itu dibiasakan ayah untuk berani adzan di
masjid. Hingga ia dewasa, ayah menginginkan ia agar bisa tumbuh jadi anak yang
sholeh. Aku tau apa yang ayah inginkan sesungguhnya. Ia hanya ingin ada
‘teman’.
Ketika
aku lupa tentang rumus-rumus fisika, ayah memaklumi. Namun ketika ayah bertanya
tentang terjemahan dari penggalan kata di dalam al-quran, ia mengomeliku
panjang pendek,‘masa lupa? Pelajaran dulu di pesantren udah lupa ya?’.
Pun
ketika aku tidak bisa memberikannya persembahan IP terbaik, ia tidak pernah
marah, dan selalu bilang,”yang ayah mau bukan IP, tapi jadilah gadis ayah yang
baik di sana. Jaga diri, semoga makin sholehah”.
Ayahku,
ayah yang hebat. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya dan menjadikan
kami anak-anak yang bisa menjadi ‘aset’ nya memasuki pintu syurga dengan mudah.
Ayah selalu bercerita bahwa dulu ia tidak begini. Tidak ada yang mengenalkannya
pada shalat, tidak ada yang mengenalkannya pada muhrim non muhrim, tidak ada
yang menyampaikan pentingnya pergi ke masjid, pun tidak ada yang menyuruhnya
mengaji, memperkenalkan dengan al-quran. Saat kuliah, bayangpun..shalat ayah
masih bolong-bolong dan tidak bisa membaca qur’an.
Kata ayah, itu yang selalu
ayah sesalkan dan itu yang menjadi penyemangat tersendiri untu ayah berubah di
masa tua. Ayah belajar mengaji ketika sudah ada anak-anaknya. Ayah mulai masuk
kelompok halaqoh,mendapatkan teman-teman yang seperti teman ‘rohis’,
teman-teman yang selalu ia temui untuk mengaji rutin. Ayah mulai belajar
membaca qur’an dari nol dan akupun menyaksikan fase di mana ia membaca huruf
demi huruf al-quran dengan terbata.
Lalu ayah mulai menghafal surat pendek,
ketika itu aku sudah masuk ke pesantren. Jadi, aku belajar bersama ayah. Saat
itu aku menghafal dan begitu juga ayah. Waktu itu, bacaan quran ayah belum
begitu baik....namun ayah sudah mulai mengajari ibuku membaca quran juga.
Kalau
ingat ayahku waktu itu, sungguh semangatnya tak terpatahkan. Setiap sehabis
shalat mahrib, sempat dulu ayah membuat aktivitas baru untuk kami. Yaitu shalat
mahrib berjamaah di rumah, lalu setelah shalat mahrib..setelah cium tangan ayah
ibu, kami duduk melingkar masih dengan sajadah dan mukena, ayah dengan
sarungnya. Masing masing memegang quran dan bergiliran membaca quran. Ayah
memintaku untuk mengoreksi bacaanya jika ada yang salah. Dan ketika ibu yang
bergiliran membaca, ayahku yyang akan mencoba membenarkan. Kadang-kadang kami
tertawa saat ibu membaca, ibu teramat kesusahan dan kita harus ekstra bersabar
menunggunya menuntaskan bacaan satu ayat. Kami tertawa karena ibu tertawa
duluan, mungkin gemas dengan dirinya sendiri. Aku lebih suka melihatnya
saat menjadi figur ayah yang seperti ini dibandingkan ketika ia mengajak kami
rekreasi ke suatu tempat wisata lalu marah-marah hanya karena mobil mogok atau
jalanan macet.
Ayah belajar lebih banyak secara otodidak. Ayah suka pengajian-pengajian yang mengajarkan pemahaman dasar, logika. Karena mungkin terlalu berat kalau ia harus belajar di pengajian yang terlalu banyak istilah arab yang ia belum mengerti. Ayah paling suka mendengar kajian Ust. Yusuf Mansur..dan kemarin kuajak kajian di DS ..ayah juga suka dengan penuturan Ust. Syatori Abdurrouf.. ayah juga suka Ust. Salim A. Fillah.
Ayah selalu mengingatkan, anak anak ayah jangan ada yang seperti ayah. Belajar semuanya baru sekarang. Tapi ayah bilang, ayah yakin tidak ada kata terlambat. Memang resikonya adalah sulit, daya hafal sudah lemah, daya menangkap bacaan quran sudah tidak secepat kami yang masih muda. Tapi belajar adalah sampai liang lahat, dan ayah siap melakukannya. Menjadi sosok ayah yang semakin baik setiap harinya. Semoga Allah memberkahi sisa umurmu dan menerima taubatmu, menghapus semua dosa mu di masa lampau.
Best Regards,
DAD'S PICT ^___^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar