Yang paling unik
pada manusia adalah jiwanya. Sebab, baik dan buruknya jasad sangat bergantung
padanya. Celakanya, jiwa berada di luar kendali manusia hingga seringkali tidak
disadari sedang dalam keadaan seperti apakah jiwanya itu. Sekiranya ia dalam kendalinya
tentu ia selalu dalam kondisi yang diinginkan.
Allah telah
mengilhamkan kepada jiwa manusia itu fujuurohaa wa taqwaaha (keburukan/dosa dan
kebaikan/taqwa). Hal itu seperti disebutkan dalam surat Al-Lail. Oleh karena
itu, keberuntungan manusia sangat tergantung pada kepandaiannya dalam mengelola
jiwanya supaya potensi takwa lebih dominan daripada potensi fujur (dosa).
Konflik di antara keduanya tidak akan pernah berhenti. Dilihat dari dominan ruh
dan nafsu, jiwa manusia dapat dikategorikan menjadi tiga karakter yang
sekaligus juga menunjukkan tingkatannya:
1.
Apabila nafsu lebih dominan daripada
ruh. Yang menguasai jiwanya adalah keinginan untuk memenuhi selera kesenangan
dunia (syahwat). Kondisi jiwa yang demikian akan selalu menyuruh untuk
melakukan hal-hal buruk. Jiwa demikian berada pada tingkat paling rendah.
Apabila tidak segera diobati, kecenderungannyya akan semakin menjadi dan
akibatnya akan menjerumusan pemiliknya ke lembah hina.
2.
Apabila pengaruh kekuatan antara ruh
dan nafsu seimbang. Maka logika akan banyak bicara. Akan terjadi konflik dan
pergolakan yang keras antara keinginan amal shalih dan kecenderungan maksiat.
Apabila ada keinginan amal shalih ia pikir-pikir dulu. Pun bila terbesit
kecenderungan maksiat ia juga pikir-pikir dulu. Pun bila terbesit kecenderungan
maksiat, ia pikir-pikir dulu.
Tarik
ulur antara dorongan negatif dan positif tiada habis-habisnya. Jiwanya selalu
menginginkan yang lebih baik. Bila melakukan keburukan, ia akan mencacinya.
Bila melakukan kebaikan ia juga mencacinya karena tidak melakukan yang lebih
baik. Jiwa dengan kondisi yang demikian lebih baik dibanding yang pertama dan
inilah yang dimiliki oleh kebanyakan kaum muslimin.
3.
Apabila yang dominan adalah dorongan
ruh dibanding dorongan nafsunya, maka manusia akan berdzikir pada setiap keadaan.
Jiwa yang demikian ini disebut nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang). Dirinya
senantiasa merasa tentram dan enjoy dengan amal-amal ketaatan. Ibadahnya akan
terasa amat ringan. Dirinya akan gelisah bila kesempatan dzikirnya terusik.
Jiwa dengan kondisi demikian dimiliki para Auliya’urrahman (para wali Allah)
yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih. Semoga Allah
menganugerahkan kepada kita jiwa yang tenang ini di dunia, hingga kelak Allah
memanggil kita dengan panggilan yang lembut.
“Wahai jiwa
yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai Nya.
Masuklah ke dalam barisan hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam syurgaKu” (QS.
Al-Fajr : 27-30)
Allah tak pernah
menghendaki bila manusia menjadi malaikat. Demikian itu karena Allah telah
mengilhamkan kepada jiwanya dosa dan ketaqwaan, sehingga manusia yang baik
bukanlah manusia yang tidak pernah berdosa. Manusia adalah tempat salah dan
lupa, namun sebaik-baik orang yang salah dan lupa adalah yang segera bertaubat.
Apapun kondisi jiwa
kita, yang jelas kita diperintahkan untuk selalu membersihkan dan
mensucikannya. Tazkiyatunnafs (Mensucikan diri) dilakukan dengan membersihkan
dan membebaskan jiwa dari sifat-sifat tercela dan menyandanginya dengan sifat-sifat
terpuji.
Bagaimana caranya?
Yaitu dengan tilawah dan tadabur Al-Quran, tafakur alam, menuntut ilmu, shalat
wajib berjamaah di masjid, shaum (puasa), dakwah, bergaul dengan orang shalih
dan sebagainya.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwanya. Dan, sesungguhnya merugilah orang yan mengotorinya” (QS.
Asy-Syam : 9-10)
Dikutip dati Buku SYARAH RASMUL BAYAN TARBIYAH
Halaman 172-173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar