Lama,
gadis itu mendiamkan kekasihnya. Hanya karena mulai bosan, dengan kata cinta.
Baginya, cinta semakin terasa tidak istimewa saja. Cinta memang menjanjikan
banyak hal indah. Debar jantung yang merambat hingga ke seluruh kulit, rindu yg
menjalar hingga ke lengan bahkan ujung jari bila sehari tak bersua, hanyut dalam perasaan rekah merona setiap
kali bertemu, hingga mimpi janji selamanya yang terwujud dalam cincin yang
diselipkan sang kekasih di jari manis. Tak sampai di situ, cinta juga menawarkan
buah hati yang sempurna bagi pasangan kekasih,keluarga kecil. Yang bahagia
tentunya. Dan, sekali lagi ; selamanya.
Gadis
itu masih mendiamkan kekasihnya. Pemuda yang sedang rantau,yang katanya demi
membawa pulang sebuah cincin pernikahan untuk Si Gadis sekaligus menjanjikan
kehidupan yang lebih baik. Sekali lagi: janji. Berbulan-bulan lamanya, Si Gadis
harus mengurung perasaan cintanya, buncah rindunya, perasaan perih menjaga
cinta yang tak pasti. Kapan kekasihnya pulang, kapan kekasihnya tak lagi menawar
janji untuk menunjukkan kesungguhannya, hanya pikiran yang mencekat tenggorokan
Sang Gadis.
Purnama
keempat telah berlalu. Sang gadis masih mendiamkan kekasihnya. Sapaan
rutin,”Sudahkah bangun?” di pagi hari selalu juga dibalasnya rutin,” sudah”
tanpa perasaan apa – apa lagi.
Si
Gadis sudah hafal betul sapaan seperti apa yang akan muncul ketika siang,dan ia
hanya perlu menjawab,”ya. Aku sudah makan siang”. Tak jauh beda pula ketika
malam. Hanya selalu perlu menjawab,”iya. Malam ini saya mengajar” dan tak lagi
menjawab ketika kemudian kekasihnya berpesan,”jangan lupa makan malam. Selamat
berkarya..”.
Selesai.
Sehari berlalu dengan sapaan yang tak jauh beda. Sehari, lalu sehari lagi, lalu
sehari lagi, hingga berubah minggu, hingga yang manis terasa tawar. Hingga
suatu yang dulu istimewa menjadi suatu hal yang membosankan. Dulu,gadis itu
percaya ini adalah cinta. Tapi kenapa cinta bisa jadi hal yang membosankan
seperti ini? Masihkah ini disebut cinta?
Si
gadis mulai berpikir,apakah cinta itu. Dan mulai bertanya, benarkah pemuda itu
sungguh mencintainya. Teringat pada pemuda di desa tak jauh tempatnya tinggal,
rajin bertanya apakah Si Gadis sudah siap untuk menikah. Walau Si Gadis
menjawab belum, pemuda yang tak pernah dilihatnya itu selalu menitipkan
pertanyaan yang sama untuknya melalui Emila ,sahabat Si Gadis setiap pergantian
musim. Sepatah pertanyaan yang sudah cukup diketahui si gadis apa maksudnya.
Setiap hari,seiring dengan terbitnya matahari, diselingi dengan menjawab
pertanyaan rutin kekasihnya yang rantau, Si Gadis selalu menyempatkan diri
bertanya pada sang surya. Tentang darimanakah kesungguhan cinta dapat terbaca?
Apakah dari kekasih hati nya yang sedang rantau demi selingkar cincin ataukah
dari pemuda desa yang langsung bertanya tentang kesediaan menambatkan hati
untuk selamanya?
Sang
Gadis yang merasa perjalanan cintanya di situ-situ saja, akhirnya memutuskan
untuk melalui hari yang benar-benar nyata di hadapannya. Kenyataannya, Sang Kekasih
tak pernah ada di sisi. Kenyataannya, hatinya sudah tertambat pada yang jauh di
sana, seolah tak bisa dilepas lagi walau ada yang menjanjikan perjalanan cinta
yang sesungguhnya. Ah, di tengah rasa bosannya menjalani perjalanan cintanya
itu, berkhianat sungguh jauh dari perbendaharaan kosakata yang dimiliki si
gadis. Apalagi berkhianat soal cinta. Cukup sudah dulu hatinya patah karena
dikhianati seorang pemuda pengecut yang selalu bersembunyi atas nama persahabatan dengannya. Dan ia tau betul, luka
itu walau kering namun siap menganga kapan saja setiap kali memoar tentang
pemuda itu kembali. Dan tentu saja Si Gadis tak perlu menjadi seperti pemuda
itu, mengkhianati cinta.
Dengan
pikiran dan perasaan yang mulai meghilang, Sang Gadis menjalani hari. Tak perlu
lagi ucapan kata rindu bila ia merindui kekasihnya. Hanya cukup dengan
tertidur, lalu menitikkan sedikit air mata ketika bermimpi bertemu kekasihnya
yang rantau. Tak perlu lagi mengucapkan selamat tidur, sebab hari-hari yang
dijalaninya sekarang sudah seperti tidur panjang. Tak ada hari baru, tak ada
pagi yang baru, tak ada cuaca yang baru. Semuanya tetap sama, hari yang sama,
pagi yang sama, cuaca yang sama..sebab tambatan hatinya juga tetap tak ada di
sisi, tetap tak ada. Tetap tak ada.
Tak
ada. Dua kata yang semakin akrab untuk kehidupan Si Gadis. Dua kata yang
semakin dipahaminya. Bahwa ‘tak ada’ itu artinya sama dengan ‘tidak ada’.
Seperti tidak ada kekasihnya, tidak ada di dunia nyata, tidak hadir di
sampingnya, tidak ada cinta, tidak ada tawa, tidak ada kupu-kupu , tidak ada
pelangi , masih tetap mendung. Tidak ada yang datang dari rantau, tidak ada
janji yang tertunaikan, tidak ada lagi mimpi, semakin lama dipahami, arti dari
tidak ada adalah tidak ada lagi kehidupan. Tidak ada kehidupan...
Beberapa
tahun berlalu, Sang Gadis masih selalu setia pada kursi di terasnya. Selalu
duduk menerawang ke ujung halaman rumah, berharap kekasihnya berbaik hati untuk
membebaskannya dari tali kekang yang melilit hatinya, yang belum juga lepas
karena tertambat pad hati sang kekasih. Sang gadis mulai berpikir, bahwa
mungkin lebih baik kekasihnya menyuruhnya untuk melepaskan tali itu. Tali
tambatan yang selama ini dipertahankannya untuk tetap ada hanya karena ingin
setia. Orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahnya selalu memandangi
gadis kita iba. Tatapan iba karena mengibai kesetiaan Sang Gadis, ataukah
mengibai kebodohan Sang Gadis karena terlalu setia.
Tak
tau sejak kapan, rasa rindu berubah menjadi setangkai dandelion yang kering,
hanya mampu terhempas ke sana kemari setiap kali di tiup angin. Jatuh di
mana-mana, teserak. Namun tak menjanjikan kehidupan yang baru. Terbang ke mana,
mati di sana. Tebang kemari, mati di sini. Tak tau pula sejak kapan, rasa cinta
berubah menjadi tanah yang tandus. Tak lagi dapat menumbuhkan segala hal yang
buruk menjadi indah. Yang ada, hal indah yang datangpun, jadi terasa ikut
kering, layu sebelum tumbuh dan akhirnya mati.
“Delia,
aku datang. Aku datang, Delia. Untukmu! Untuk kita! “, seseorang bersimpuh di
hadapan Delia. Berlutut, meraih pelan kedua telapak tangan kekasihnya syahdu.
Gadis itu menatap dua bola mata di hadapannya. Bola mata yang tiga tahun lalu
dirinduinya. Bola mata milik kekasih hati yang selama ini setia tinggal di
hatinya tanpa seorang pun tau bahwa setitik kesetiaan itu membutakan segalanya.
Membutakan siapa yang datang dan pergi. Membutakan rasa cinta itu sendiri. Delia masih tergugu menatap sepasang mata
elang itu.
“Sayang,
tidakkah ini yang kita harapkan? Aku akan menikahimu, Wahai wanita pujaanku.
Aku kembali!”, pemuda itu makin menggenggam erat kedua tangan Delia. Tatapannya
seolah menggali.kedua mata kekasihnya, mencari sesuatu yang dulu ada di sana.
“Maaf.
Maaf. Maaf. . . . “, Sang Gadis tiba-tiba saja tersedu hingga terguncang dua
bahu nya. Menangis seperti anak kecil yang kehilangan ibu nya.
“Ada
apa sayang ??”, pemuda itu mengangkat dagu Delia, memandang gadis pilihannya
yang sedang terisak. Delia memalingkan wajah sambil masih tersedu sedan.
“Ini
aku, Stavino. Tatap aku Delia! Aku kekasihmu!”, Stavino mengguncang kedua bahu
bidadarinya. Seolah berusaha membangunkannya dari tidur panjang. Delia menepis
lengan Stavino dengan sisa tenaga di
sela isaknya.
“Maaf,
maafkan aku. Jangan begini. Aku sedang menunggu kekasihku. Aku sedang menunggu
kekasihku! !”
**The End**