Aku berusaha memahami adikku. Oleh karena itu, aku selalu siap tuk menjadi yang selalu kalah untuknya.
Aku berusaha memahami kesibukan teman-temanku. Oleh karena itu, aku lah yang lebih sering menyapu dan mengepel SELURUH lantai ruangan umum yang ada di rumah kontrakan besar yang sekarang kutempati bersama teman-teman. Termasuk juga membersihkan dapur, mencuci piring dan peralatan dapur.
Aku berusaha memahami orangtua ku. Aku meminimalisir meminta uang bulanan. Sebagian biaya hidupku kutanggung dari hasil mengajar privat Nia (kelas VI SD) dan bantu berjualan papercraft di Sunday Morning pada akhir pekan. Kadang juga dari honorarium proyek penelitian di kampus yang diberikan per semester. Baru-baru ini aku sampai menyewakan sebagian kamarku untuk seorang teman. Jadi sekarang aku tinggal sekamar berdua. Lumayan, alokasi uang kontrakan yang diberikan oleh orang tua separuhnya bisa kugunakan untuk hal lain.
Banyak. Banyak dan masih banyak lagi.
Berusaha selalu memahami tidak lantas membuat orang lain berusaha memahamiku juga. Entahlah, atau mungkin yang terjadi sebenarnya adalah mereka sudah mencoba memahamiku. Hanya saja aku orangnya memang sulit untuk dipahami. Iya. Mungkin begitu yaaa..
Aku terus berusaha sebisa mungkin untuk memahami kepribadianku sendiri. Belakangan ini, aku merasa bahwa aku mudah berusaha untuk memahami orang lain walaupun aku harus mengorbankan diriku, waktuku, pikiranku, hartaku bahkan air mataku. (Hmm, kecuali mengorbankan rasa kantuk kayaknya itu susah, Hehe ). Hingga pada saat sekarang ini meski aku tau bahwa orang lain tidak bisa serta merta balas memahamiku, aku tidak berniat untuk jadi yang masa bodoh pada orang lain.
Hingga terkadang orang lain bilang bahwa aku ini 'nurut banget' dan malah ada yang memperdebatkan tentang definisi 'polos' dan 'bodoh'.
Teringat nasehat seorang teman KKN ku yang mungkin sudah gemas kepadaku,"Dunia ini keras. Memang
keras! Jika memang ada yang harus kau tampar, tamparlah! Jika memang ada yang harus kau pukul, pukullah!"
keras! Jika memang ada yang harus kau tampar, tamparlah! Jika memang ada yang harus kau pukul, pukullah!"
Sayangnya, aku tak pernah tau teman KKN ku yang mana yang menasehatiku seperti itu. Sebab itu ia tulis di atas secarik kertas dan tidak disertai dengan nama. Andai aku tau, aku akan bilang bahwa jika tidak dalam keadaan terdesak dan sangat ingin menampar dan memukul, aku lebih suka diam. Sebab kutau kehidupan ini tidak diam. Tidak akan diam sepertiku. Tuhanpun tidak akan hanya diam sepertiku. Ia lah yang akan 'menampar' dan 'memukulnya', sebab dunia ini selalu 'berputar'. Hidup punya cara tersendiri untuk 'menampar' orang yang perlu 'ditampar' dengan cara yang lebih 'asik' kan?
Setelah menjalani semua, aku semakin merasa pemahaman orang lain tentangku bukanlah suatu hal yang mutlak penting. Memangnya siapa aku? Memangnya mereka nggak punya kerjaan lain sehingga harus memahamiku?. Mulai sekarang, ubah niat ketika akan memahami orang lain: aku memahami orang lain karena hanya berharap Tuhan paham tentang diriku. Sehingga selalu menempatkanku di tempat dan peristiwa yang baik.
:)
Memahami orang lain karena kita butuh. Jika kita paham tentangnya, akan lebih mudah menempatkan diri. Paham bukan berarti mengalah, dan mengalah bukan berarti diam. Tapi semua tindakan bisa jadi pilihanmu. Kapan digunakannya adalah setelah kau memahami. Setidaknya itu yg aku mengerti, Ay.. tp bisa jd kasus kita beda. ^^v. Aku rindu kamu btw. Semangaaat!
BalasHapussalam kenal camelia, #pura2 gak kenal XD
BalasHapusiya km betul juga kok. hhe..
iya bisa jadi! bisa jadi! bisa jadi kita beda kasus. ^^