12 Februari 2014
Subhanallah. Maha Suci Allah. .
Subhanallah. Maha Suci Allah. .
Seandainya
rasa sakit jasad bisa direkam, untuk kemudian disimpan dan bisa
dirasakan sewaktu tiap kali tidak dapat menghadapi godaan untuk
berbuat maksiat. Sungguh manusia tempatnya lalai. Sadar dan
bertaubat ketika diuji dan diberi cobaan, namun dengan mudah
melalaikan taubatnya ketika diberi nikmat dan kesenangan.
Pemikiran
manusia setiap kali diberi sakit oleh Allah berbeda-beda. Ada yang
berpikir bahwa Allah sedang menghukum, sebab ketika sakit tetiba
teringat akan semua maksiat yang dilakukannya disaat sehat. Biasanya
ia akan berkata,”ini adalah hukuman dari Allah di dunia” atau
“ini adalah hukuman dari Allah yang disegerakan”. Ada berpikir
bahwa Allah sedang menguji, sebagaimana orang mukmin yang sedang
diuji kesabarannya sehingga ia menjadi hamba yang semakin baik
derajatnya dan bertambahlah ketaqwaannya. Biasanya ia akan
berkata,”saya sedang dicoba, sedang diuji berupa mendapatkan sebuah
penyakit. Akankah saya berpaling dari Nya, memohon kesembuhan pada
Nya atau menyerah dan berpaling dariNya”.
Baru
saja saya mencoba menggunakan sudut pandang yang demikian dalam
menyikapi rasa sakit jasad atau badaniah yang saya alami. Amat terasa
pedih saat sekitar dua jam yang lalu jahitan bekas operasi klavus
yang ada di telapak kaki saya dibuka oleh perawat. Ada 8 jahitan dan
rasanya seperti disentak setiap kali satu ikatan benang berhasil
dicabut. Dan sentakan itu terasa amat membuat pedih di satu titik
sampai saya berpikir jangan-jangan tercabutnya benang itu
meninggalkan luka dan titikan darah. Padahal ternyata tidak. Belum
lagi terdengar suara seperti kawat digunting. Semakin terasa jelas
bahwa yang dicabut adalah benda keras. Mungkin yang membuat perih
adalah saat daging bergesekan dengan benang kawat tersebut setiap
kali dicabut. Pedih yang dirasa malah seolah bertambah pedih dan
nelangsa di hati saat memikirkan maksiat-maksiat yang mungkin sudah
dilakukan kaki saya sehingga Allah memberi hukuman melalui rasa sakit
ini dan dalam hati saya melirihkan doa agar dosa-dosa saya diampuni.
Dan bertambah pedih juga saat saya membayangkan ini adalah ujian dari
Allah. Rasanya,ya Allah. . ini ujian. Jadi wajar jika pedih. Tapi
entah kenapa malah jadi tambah pedih. Dua metode sudut pandang sudah
saya coba pada saat itu tapi tidak meringankan perasaan dan beban
pedih yang saya tanggung. Seketika saya berpikir bahwa ini adalah
sebuah kenikmatan. Kenikmatan yang saya rasakan adalah saya
membayangkan bahwa seandainya dicabut nyawa pedihnya seperti ini maka
alangkah ringannya. Alangkah mudahnya, alangkah sederhananya rasa
sakit yang saya rasakan. Jadi saat itu saya tidak memikirkan bahwa
saya sedang dihukum atau diuji. Yang saya pikirkan adalah saya sedang
dicabut nyawa. Rasanya jadi tidak seberapa pedih, mengingat sabda
Rasulullah tentang betapa sakitnya saat ruh tercerabut dari jasad.
Rasa sakit saya belum ada apa-apanya dibanding itu. Ya Rabbii
Alahummaghfirliii. .
Selesai
dilepas jahitan, kemudian ditutup dengan kassa dan plester. Saya
pulang dengan berjalan agak ‘dengklang’ dan masih tetap menahan
sisa-sisa perih di bekas jahitan. Menyusuri lorong rumah sakit dengan
merasakan perih dan tertatih seperti itu, tiba-tiba teringat
bagaimana nanti saya akan berjalan di atas shiratal mustaqim di
akhirat kelak. Atau ketika berjalan di atas api neraka.
.naudzubillahimindzalik. sungguh rasa sakit saya belum ada
apa-apanya. Bahkan dikatakan siksaan yang paling ringan di neraka
adalah siksaan untuk paman Rasulullah, Abu Thalib yaitu memakai
sandal panas di kaki kirinyayang dapat membuat otak mendidih. Seperti
apakah rasanya itu. Ya Rabbii.. Allahumma ajirna minannaar. .
Allahumma ajirna minannaar. . Allahumma ajirna minannaar. .
Kenikmatan
tertinggi dalam merenung dan introspeksi diri salah satunya ada pada
saat seorang hamba ditimpa ujian berupa sakit. Nikmatnya
istighfar(ketika teringat pedihnya sakit yang diderita belum seberapa
pedih siksa neraka), nikmatnya mengucapkan kalimat hamdalah (ketika
teringat nikmat semasa sehat), nikmat bertasbih dan bertakbir (ketika
menyadari Allah maha menimpakan segala sesuatu pada hambaNya baik
berupa nikmat ataupun pedih).
Jadi,
haruskah rasa sakit itu benar-benar direkam? Untuk kemudian dapat
dirasakan kembali hanya untuk kembali mengingat taubat setiap kali
ada godaan bermaksiat ketika sehat. Sepertinya tidak. Yang perlu
hanyalah membuat catatan seperti ini agar ketika sehat saya tetap
bisa mengingat baik-baik bahwa saya pernah mengalami perenungan
semacam ini. Dan seharusnya tidak perlu menunggu diberi sakit lagi
untuk mengingatnya kan? Sudah tau pedih. Sudah tau punya perenungan
seperti ini kenapa tidak dijadikan pelajaran dan selalu ingat?
Mungkin yang akan jadi PR besar saya ketika sudah kembali berjalan
kaki selayaknya orang normal adalah mensyukuri nikmat sehat dan
nikmat kaki yang Allah beri. Sebab ketika tidak bisa menggunakan kaki
kiri saya sebagaimana mestinya seperti ini adalah, seharusnya saya
tidak banyak mengeluh ketika kaki saya hanya didera rasa pegal karena
berjalan jauh. Pegal lho. Hanya pegal. Pegal karena berjalan adalah
nikmat bagi orang yang nikmat berjalannya sedang dicabut oleh Allah
(seperti yang saya rasakan). Seharusnya saya juga lebih menggunakan
kaki saya dengan lebih maksimal untuk mendatangi majelis-majelis ilmu
dan beraktivitas yang baik-baik. Sebab ketika sakit, sungguh deh. .
membawa tubuh ini ke pekarangan belakang rumah saja saya sudah
ngos-ngosan karena mesti lompat-lompat dengan satu kaki dan dibantu
dengan kruk.
maka
benarlah, Fabiayyi alaa irobbikuma tukadzibaan, .
Allahummaghfirlii.
.
Subhanallah
walhamdulillah walaa ilaa hailallahuallahu akbar . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar