Indias Nurul Aini

Foto saya
“Jangan Percaya Saya” Saya adalah seorang gadis kecil yang suka berbohong Kalau saya pinokio, maka hidung saya pastilah akan bertambah panjang tiap kali saya tersenyum dan tertawa sambil berkata,”hahaha saya baik-baik saja ^___^ “ dan kalau rahasia bisa diuangkan, pastilah saya sudah kaya raya

Senin, 12 Mei 2014

Pas Lagi Sakit

12 Februari 2014
Subhanallah. Maha Suci Allah. .
Seandainya rasa sakit jasad bisa direkam, untuk kemudian disimpan dan bisa dirasakan sewaktu tiap kali tidak dapat menghadapi godaan untuk berbuat maksiat. Sungguh manusia tempatnya lalai. Sadar dan bertaubat ketika diuji dan diberi cobaan, namun dengan mudah melalaikan taubatnya ketika diberi nikmat dan kesenangan. 
 
Pemikiran manusia setiap kali diberi sakit oleh Allah berbeda-beda. Ada yang berpikir bahwa Allah sedang menghukum, sebab ketika sakit tetiba teringat akan semua maksiat yang dilakukannya disaat sehat. Biasanya ia akan berkata,”ini adalah hukuman dari Allah di dunia” atau “ini adalah hukuman dari Allah yang disegerakan”. Ada berpikir bahwa Allah sedang menguji, sebagaimana orang mukmin yang sedang diuji kesabarannya sehingga ia menjadi hamba yang semakin baik derajatnya dan bertambahlah ketaqwaannya. Biasanya ia akan berkata,”saya sedang dicoba, sedang diuji berupa mendapatkan sebuah penyakit. Akankah saya berpaling dari Nya, memohon kesembuhan pada Nya atau menyerah dan berpaling dariNya”. 
 
Baru saja saya mencoba menggunakan sudut pandang yang demikian dalam menyikapi rasa sakit jasad atau badaniah yang saya alami. Amat terasa pedih saat sekitar dua jam yang lalu jahitan bekas operasi klavus yang ada di telapak kaki saya dibuka oleh perawat. Ada 8 jahitan dan rasanya seperti disentak setiap kali satu ikatan benang berhasil dicabut. Dan sentakan itu terasa amat membuat pedih di satu titik sampai saya berpikir jangan-jangan tercabutnya benang itu meninggalkan luka dan titikan darah. Padahal ternyata tidak. Belum lagi terdengar suara seperti kawat digunting. Semakin terasa jelas bahwa yang dicabut adalah benda keras. Mungkin yang membuat perih adalah saat daging bergesekan dengan benang kawat tersebut setiap kali dicabut. Pedih yang dirasa malah seolah bertambah pedih dan nelangsa di hati saat memikirkan maksiat-maksiat yang mungkin sudah dilakukan kaki saya sehingga Allah memberi hukuman melalui rasa sakit ini dan dalam hati saya melirihkan doa agar dosa-dosa saya diampuni. Dan bertambah pedih juga saat saya membayangkan ini adalah ujian dari Allah. Rasanya,ya Allah. . ini ujian. Jadi wajar jika pedih. Tapi entah kenapa malah jadi tambah pedih. Dua metode sudut pandang sudah saya coba pada saat itu tapi tidak meringankan perasaan dan beban pedih yang saya tanggung. Seketika saya berpikir bahwa ini adalah sebuah kenikmatan. Kenikmatan yang saya rasakan adalah saya membayangkan bahwa seandainya dicabut nyawa pedihnya seperti ini maka alangkah ringannya. Alangkah mudahnya, alangkah sederhananya rasa sakit yang saya rasakan. Jadi saat itu saya tidak memikirkan bahwa saya sedang dihukum atau diuji. Yang saya pikirkan adalah saya sedang dicabut nyawa. Rasanya jadi tidak seberapa pedih, mengingat sabda Rasulullah tentang betapa sakitnya saat ruh tercerabut dari jasad. Rasa sakit saya belum ada apa-apanya dibanding itu. Ya Rabbii Alahummaghfirliii. . 
 
Selesai dilepas jahitan, kemudian ditutup dengan kassa dan plester. Saya pulang dengan berjalan agak ‘dengklang’ dan masih tetap menahan sisa-sisa perih di bekas jahitan. Menyusuri lorong rumah sakit dengan merasakan perih dan tertatih seperti itu, tiba-tiba teringat bagaimana nanti saya akan berjalan di atas shiratal mustaqim di akhirat kelak. Atau ketika berjalan di atas api neraka. .naudzubillahimindzalik. sungguh rasa sakit saya belum ada apa-apanya. Bahkan dikatakan siksaan yang paling ringan di neraka adalah siksaan untuk paman Rasulullah, Abu Thalib yaitu memakai sandal panas di kaki kirinyayang dapat membuat otak mendidih. Seperti apakah rasanya itu. Ya Rabbii.. Allahumma ajirna minannaar. . Allahumma ajirna minannaar. . Allahumma ajirna minannaar. . 
 
Kenikmatan tertinggi dalam merenung dan introspeksi diri salah satunya ada pada saat seorang hamba ditimpa ujian berupa sakit. Nikmatnya istighfar(ketika teringat pedihnya sakit yang diderita belum seberapa pedih siksa neraka), nikmatnya mengucapkan kalimat hamdalah (ketika teringat nikmat semasa sehat), nikmat bertasbih dan bertakbir (ketika menyadari Allah maha menimpakan segala sesuatu pada hambaNya baik berupa nikmat ataupun pedih). 
 
Jadi, haruskah rasa sakit itu benar-benar direkam? Untuk kemudian dapat dirasakan kembali hanya untuk kembali mengingat taubat setiap kali ada godaan bermaksiat ketika sehat. Sepertinya tidak. Yang perlu hanyalah membuat catatan seperti ini agar ketika sehat saya tetap bisa mengingat baik-baik bahwa saya pernah mengalami perenungan semacam ini. Dan seharusnya tidak perlu menunggu diberi sakit lagi untuk mengingatnya kan? Sudah tau pedih. Sudah tau punya perenungan seperti ini kenapa tidak dijadikan pelajaran dan selalu ingat? Mungkin yang akan jadi PR besar saya ketika sudah kembali berjalan kaki selayaknya orang normal adalah mensyukuri nikmat sehat dan nikmat kaki yang Allah beri. Sebab ketika tidak bisa menggunakan kaki kiri saya sebagaimana mestinya seperti ini adalah, seharusnya saya tidak banyak mengeluh ketika kaki saya hanya didera rasa pegal karena berjalan jauh. Pegal lho. Hanya pegal. Pegal karena berjalan adalah nikmat bagi orang yang nikmat berjalannya sedang dicabut oleh Allah (seperti yang saya rasakan). Seharusnya saya juga lebih menggunakan kaki saya dengan lebih maksimal untuk mendatangi majelis-majelis ilmu dan beraktivitas yang baik-baik. Sebab ketika sakit, sungguh deh. . membawa tubuh ini ke pekarangan belakang rumah saja saya sudah ngos-ngosan karena mesti lompat-lompat dengan satu kaki dan dibantu dengan kruk.
maka benarlah, Fabiayyi alaa irobbikuma tukadzibaan, .

Allahummaghfirlii. .
Subhanallah walhamdulillah walaa ilaa hailallahuallahu akbar . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar