Indias Nurul Aini

Foto saya
“Jangan Percaya Saya” Saya adalah seorang gadis kecil yang suka berbohong Kalau saya pinokio, maka hidung saya pastilah akan bertambah panjang tiap kali saya tersenyum dan tertawa sambil berkata,”hahaha saya baik-baik saja ^___^ “ dan kalau rahasia bisa diuangkan, pastilah saya sudah kaya raya

Selasa, 05 November 2013

Ketika kau datang


Hari itu, seseorang yang ditunggu kehadirannya, benar datang. Seseorang yang belum pernah sekalipun bertemu ayah, kini akan bertatap langsung dengan lelaki yang selama ini menjadi tumpuan hidupku. Yang hafal betul setiap sikapku, setiap gerik mataku kalau akau marah, kalau aku sedih, kalau aku menyukai sesuatu. Bagaimana tidak, dia lebih dari mengetahui masa kecilku, sebab ia selalu ada bersamaku. Sosok yang dulu selalu menggendongku kalau aku menangis dimarahi ibu, sosok yang selalu menjadikan bahunya untuk aku merebahkan kepalaku, meninabobokanku, menepuk punggungku pelan sambil aku menatap langit malam untuk kemudian terlelap. 

Ada rasa khawatir terselip, memikirkan akan bagaimanakah ia menyikapi pemuda yang baru dikenalnya, yang datang karena mengaku mencintaiku. Orang-orang bilang, ayahku galak. Akankah nanti ini dia juga akan galak? Akan diinterogasikah pemuda itu? Percayakah ia pada pemuda itu untuk menyerahkan putrinya ini padanya? Ah, terlalu jauh pikiranku. Tidak. Aku hanya perlu merasa lega bahwa ayah akan mampu bersikap baik padanya, dan begitupun sebaliknya, semoga pemuda itu dapat bersikap baik pada ayahku.  Saat itu, aku sedang di rumah, membantu ibu yang sedang memasak. Ayah pergi check up di kantor. Sementara pemuda itu sedang perjalanan menuju ke rumahTiba-tiba saja, hp ku berbunyi. Hp ibu juga.

Message dari ayah. Kukuh ternyata datang naik bis. Siapa mau ikut jemput?

Aku tersenyum geli.  Semoga ini sinyal baik dari ayah. Ayah jemput sendiri aja ya, kita nggak ikut. Biar nanti salah bawa orang. Hehe.  Send.

Nanti ayah bawa plang ‘KUKUH’, kalo salah bawa orang, nanti kan ada yang marah. :b
Aiih..Si Ayah nih..^__^

Tidak lama kemudian, ayah pulang ke rumah. Rupanya ayah khawatir, sebab sudah 2 jam lebih kami menunggu , Mas Kukuh belum sampai juga. Padahal perkiraan, 2 jam harusnya sudah sampai.  Ayah menelepon Mas Kukuh, dan ternyata dia salah naik jurusan bis. Tujuannya memang betul, bisa ke Cilacap, tapi yang lewat Wangon, jadi muternya jauh sekali. Sampai pada keputusan, janjian bertemu di Alfamart depan bandara. 

Aku duduk di tangga Alfamart, sementara ayah berdiri, menyaksikan lelaki paruh baya itu sibuk menatap ke tepi jalan, terutama ketika ada bis yang lewat. Ada gurat khawatir yang selalu ada di keningnya setiap kali resah akan sesuatu. Dan aku melihatnya saat itu. Dan aku suka, ^__^

“Mbak, coba di sms lagi, mbok kelewatan. Tanya, sudah sampai mana. Bilang, alfamart yang ada mobil abu-abu silver”, kata ayah sambil tetap pandangannya tak lepas dari tepi jalan. 

“Hmm? Yaa..”, kataku sambil tak bergeming. Tidak juga ku sms. Sebab aku tau, kalau ku sms, bisa-bisa nanti Mas Kukuh jadi melihat hp dan lengah melihat jalan. Sebenarnya informasi untuk turun di depan alfamart bandara itu sudah cukup. Hanya saja, ayah tampaknya terlalu khawatir. Biar saja.Aku memeluk kaki, tersenyum geli, ayahku lucu juga. Hihi

Tidak lama kemudian, ada bis berhenti di tepi jalan. Aku mengangkat daguku yang daritadi kutumpukan di lututku ketika melihat seorang pemuda memakai polo shirt hitam, celana gunung warna krem dan menyampirkan ransel di salah satu bahunya  turun dari bis. Sontak, senyumku merekah. Dan ayah yang memang sudah awas dari tadi, langsung berkata,”Itu ya mbak?”.

Aku mengangguk dan kemudian melambaikan tangan ke arah pemuda yang dulu sempat menjadi asisten laboratorium tempat aku praktikum sewaktu semester dua. Pemuda itu balas melambaikan tangan padaku sambil memamerkan lesungpipitnya karena tersenyum lebar. Lambaian itu memang untukku, tapi aku tau senyuman itu jelas bukan untukku. Sebab, sembari tersenyum, ia menatap ayah dan berjalan pelan mendekatinya. Kulihat, ayahku juga tersenyum sama lebarnya dengan dia, sampai membuat kulit wajahnya tertarik, hilang sudah kerutan kekhawatiran yang tadi kulihat di keningnya. Mereka lalu saling berjabat tangan. 

“Assalamualaikum!”, kata Mas Kukuh.

“Waalaikumsalam”, sahut ayah, sambil tetap menjabat tangan lawan bicaranya. Aku bangkit dari dudukku dan mendekat ke mobil.

“Pantesan lama, ternyata naik bisa itu to..”, kata ayah sambil berjalan ke arah mobil dan memencet tombol buka kunci pintu mobil.

“Iya, pak. Habisnya saya nggak tau. Kirain semua bis ke cilacap, sama aja. “, kata mas kukuh sambil terkekeh pelan.

“beda-beda, jalurnya beda-beda. Pantesan lama, wong lewat wangon”, sahut ayah.

Aku membuka pintu mobil , duduk di belakang. Sementara ayah dan mas kukuh duduk di depan.

“Jadi tadi itu judulnya salah naik bis ya Pak? Hehehe”

“Iya. Hahahaha”

Selanjutnya, yang terjadi adalah perbincangan ringan antara mereka berdua yang sama sekali tidak melibatkan saya di dalamnya. Membicarakan segala hal yang dilihat di sepanjang perjalanan. Juga tentang kenek bis yang menjawab tidak tahu apakah bis nya akan lewat depan bandara. 

Tidak sampai 10 menit, kami sampai di depan rumah. Disambut oleh ibuku, yang sedang menata menu makan siang yang baru selesai dimasaknya; sup daging , sambal dan ayam goreng. Setelah shalat dhuhur, ibu mempersilakan mereka untuk makan duluan. Jadi, sementara mereka makan berdua di meja makan, aku dan ibu menonton TV di ruang tengah. Sebenarnya nggak fokus lihat acara TV juga sih, sebab ternyata kami lebih penasaran dengan apa yang sedang mereka obrolkan daripada menyaksikan dokumenter Nat Geo Wild di televisi. Bagaimana tidak? Mereka mengobrol dengan tak jarang diselingi tawa ayah, bergantian dengan tawa mas kukuh. 

Selesai mereka makan, ayah mengajak mas kukuh berjalan-jalan  ke halaman belakang. Sementara itu, saya membereskan piring sisa makan mereka dan mencucinya di dapur. Selesai mencuci, saya kembali ke ruang tengah,menghampiri ibu sambil melirik ke halaman belakang. Mereka berdua sedang menatap salah satu pohon mangga yang ada di halaman rumah. Dengan buah markisa di tangan, ayah bercerita tentang sesuatu yang sepertinya membuat mas kukuh jadi tertawa. “Haissshhh ngobrolin apa lagi mereka bu? Kayaknya seru amat ya?”, celetukku akhirnya. Ibu tertawa.

“Enggak tau tuh Mbak. Padahal baru kenal, ya! Yah..yang mau disampaikan jangan-jangan gak jadi tersampaikan, tuh. hihi”, ujar ibu sambil tertawa. Aku menoleh ke arah ibu, dan mau tidak mau jadi ikut tertawa. Alhamdulillah..lancar....^__^

Aku terus menyaksikan dari balik teralis jendela. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyelip  di hati. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, akan ada seorang pemuda yang mungkin juga akan menyayangiku sama seperti ayah menyayangiku, berdiri bersisian, membincangkan banyak hal di halaman belakang rumah.  Dengan aku yang memandang punggung keduanya dari balik jendela. Bila melihat langit siang itu rasanya sungguh berbeda. Kedua ujung bibir ku tertarik perlahan, mengiringi lamunanku yang melambung sembari menatap indahnya ‘pemandangan’ di hadapanku.

“Eh Mbak, mas kukuh rapihan ya? Dulu pas pertama kali ibu kenal dia,ketemu di rumah sakit pas dia sama temeng-temen kampus mu jengukin adik sakit kan dia agak gondrong?”, tanya ibu.

“haaaa..iya ya?”, aku terkekeh pelan. Itu jaman kapan yak? Jaman pas dia masih kuliah, kan sekarang dia udah kerja.

“Laper ah,ngapain juga nungguin mereka ngobrol. Yuk Bu, makan juga? Kuambilin”, kataku sambil berdiri dan berjalan menuju dapur, lalu makan di ruang tengah dengan ibuku. Minuman markisa buatan sendiri menemani makan siang kami berdua. Cangkir tambahan kami siapkan, untuk ayah dan mas kukuh yang ternyata sudah selesai mengobrol di belakang rumah. Kini, bergabung bersama kami di ruang tengah. Makanku sudah hampir selesai, ketika mas kukuh membuka percakapan yang cukup membuatku harus mengunyah dan menelan makanan dengan lebih hati-hati. Sebab, salah salah, aku bisa tersedak.

“Ada yang ingin saya sampaikan, Pak. Terkait dengan kedatangan saya ke sini”, mas kukuh membuka percakapan. 

“Mi, tolong umi ambilin remot TV mi”, kata ayah sambil menunjuk remot di dekat ibu. Ibu mengambilkan dan setelah remot beralih ke tangan ayah, ayah menekan tombol mute.

Suasana hening sejenak. Aku yang tadi lumayan gak kesepian karena mendengar narasi film dokumenter NGC di TV jadi hanya bisa menatap gambar di TV. Gambar yang bergerak-gerak dan sama sekali jadi tidak lucu. Aku jadi fokus ke sisa-sisa nasi yang ada di piringku. Aktivitasku jadi low motion. Entah kenapa, jadi aku yang gugup. Ugh!

“Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa tujuan saya datang ke sini adalah untuk bersilaturahmi dengan Bapak dan Ibu. Karena sebelumnya saya belum pernah bertemu. Dan yang kedua, saya sudah lama mengenal aini. Sudah 2 tahun ya?”. Kata pemuda yang terpaut jarak usia 4 tahun di atas ku itu sambil menoleh ke arahku.

“mmm.. ya. Selama kuliah”, jawabku sambil mencoba tersenyum. Aku duduk tak jauh di sampingnya. Kami duduk melingkar. Sebelah kananku , mungkin jarak setengah meter itu mas kukuh. Di sebelah kiriku, ada ibu ku. Dan di antara ibu dan mas kukuh ada ayah. 

“ Selama saya mengenal aini, saya merasa termotivasi untuk selalu memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Terutama tentang urusan agama. Tidak tau kenapa, dia bisa membuat perubahan dalam diri saya. Ya maklum, pak..dulu saya sekolah SMP dan SMA di sekolah biasa, yang pengetahuan agamanya kurang. Dan setelah bertemu dengan aini, saya banyak belajar darinya”

Aku terdiam. Semua yang dikatakannya itu tentangku. Ya, tentangku. Dia mengungkapkan apa yang ada di hatinya tentangku pada ayah. Sesuatu yang kudengar tentangku itu mampu membuat hatiku menghangat seketika. Tiba-tiba saja, terpikir di kepalaku, bagaimana dengan ayah? Apakah dia menyukai deskripsi pemuda di hadapanku tentang putrinya ini? Tanpa kusadari, senyum tipis ku serta merta terukir. Senyum yang juga hangat dari mataku, walau yang kutatap hanya lah sebuah piring kosong di tanganku. .

“ Oleh karena itu, jika bapak meridhai, saya ingin  meminang putri bapak. Dan jika bapak meridhai juga, pesan bapak saya, jika saya diizinkan saya berencana membawa bapak dan ibu saya sekalian untuk datang silaturahmi ke sini minggu depan”

Kulihat Ayah mengangguk-ngangguk. 

“Jadi begini, mas kukuh.. Saya pribadi tidak bisa menghalang-halangi jika waktunya memang sudah tiba.  Saya sebagai seorang ayah, sudah membekali putri saya ini dengan bekal ilmu tidak hanya ilmu dunia saja tetapi juga ilmu akhirat. Harapannya, ketika tiba saat ada yang akan meminang aini, kelak orang tersebut adalah orang yang tepat, yang juga bisa membawa anak saya tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Otomatis, harus tau ilmunya. Ini kita bicara soal estafet amanah seorang ayah terhadap anaknya. Jadi, maka dari itu saya ngirimi mas kukuh buku shirah nabawi untuk dibaca kan? “, jelas ayah. Mendengar semua itu, aku hanya bisa menatapnya lembut penuh kekaguman. 

“ iya pak, tapi baru baca sampai bab uhud. Hehe”, jawab Mas Kukuh.

“nah itu adalah salah satu bekal supaya kita mengenal betul siapa rasulullah, dan bagaimana kehidupannya, bagaimana sahabat-sahabatnya. Sekarang banyak orang yang mengaku beragama islam dan mengaku cinta rasulullah. Tetapi mereka sebenarnya hanya asal bicara saja sebab nyatanya mereka tidak mengenal siapa rasulullah. Seperti apa kehidupannya, dll. Jadi itu, tolong buku tetap dibaca. Gak Cuma mas kukuh aja yang saya suruh baca. Teman kantor saya yang mau pergi haji aja saya tanya dulu,”kamu mau pergi haji? Mau ke makam rasulullah. Udah baca sirah belum?”. Dia bilang, belum pak. Ya buat apa pergi ke mekkah, ke makam rasul,tapi nggak tau apa-apa tentang itu? Saya langsung suruh dia baca sirah dulu, kalo dia nggak punya tadinya saya mau pinjemin buku saya tapi udah keburu dikirim ke mas kukuh”

Kini, kulihat Mas kukuh yang mengangguk-ngangguk .

“ Lalu yang kedua, brarti ini tentang khitbah ya? Bagi orang awam, mungkin kl ada lamaran masuk setelah ada yang melamar itu kadang tidak apa2. Tapi bagi saya, menurut islam itu tidak bisa begitu. Jadi memang , jika ini saya terima berarti tandanya setelah ini nggak ada yang bisa melamar aini lagi. Ya itu sih kembali pada aini. Aini nya mau atau engggak”

Dan tiba2 semua orang memandang ke arahku. Aku menunduk, menelan ludah. Pelan, kubilang,”manut. .”, tak ayal, sambil tersenyum pula aku rupanya. Mungkin ibu tersenyum, ayah tertawa, mas kukuh juga mungkin sedang memandang ke arahku, aku tak tau. Sebab, aku menunduk. Hanya tersenyum malu kepada piring yang kupegang di tangan. Saat ini, Cuma itu peganganku satu-satunya. Sepertinya, dia juga yang paling tau apa yang kurasakan sekarang. Hihi.

“Aini itu anaknya mandiri. Walaupun kayaknya saya itu galak, tapi kalau di luar dan udah sama Aini, pokoknya dia yang galakin saya. Jadi, ati-ati lho..”, kata ayah sambil tertawa. Aku juga jadi ikut tertawa.

“ Tentang bapak dan ibu mau ke rumah minggu depan juga silakan saja. Atau kita saja yang ke sana juga nggak apa apa”

“ Iyo nggak enak tho yo..”,ujar ibu. 

“ bapak saya saja yang ke sini, Pak..pesannya begitu. Tadi malah bapak pingin bicara sama bapak di telpon. Atau nanti saja pas ketemu juga nggak apa-apa katanya”

“oh. Ngobrolnya nanti saja pas ketemu. Nggak enak kalau di telepon. Ya sudah, bapak sama ibu yang mau ke sini juga nggak apa-apa sebenarnya,Cuma saya takutnya nanti repot lagi, nyasar lagi kan malah repot”

“oh, nggak pak, insya Allah enggak. Kan saya sudah pernah ke sini”

“ Oh, iya pak. Trus ada pesan dari bapak saya juga, saya disuruh bertanya terlebih dahulu ke bapak. Kalau misal akadnya 6 bulan lagi yaitu di cuti kedua saya, apakah bapak tidak keberatan? Kalau keberatan krn mungkin terlalu lama jeda dari lamaran ke akadnya, nanti mungkin lamarannya sekalian di cuti kedua saja. Jadi saya ambil cuti nya nanti agak lama, jadi bisa untuk lamaran dan tidak lama kemudian akad nya”

“oh, kalau itu..saya tidak keberatan kok. Toh mas kukuh dan aini berjauhan jaraknya. Dalam artian, nggak satu pulau. Jadi interaksinya juga terbatas, aman. Saya akan keberatan kalau  mas kukuh kerjanya di jawa. Sebab interaksi juga diperhitungkan, kalau ada di satu pulau pasti kan beda cerita. Jadi, nggak apa-apa kalo lamarannya di cuti yang sekarang ini, monggo aja kalo orangtuan mau datang kemari minggu depan. Akad nya 6 bulan kemudian, kami sih nggak keberatan ya bu ya?”

“iya”, jawab ibu singkat. Kau tau rasanya jadi aku? Rasanya, nggak ada. Alias mati rasa. Apalagi ketika menyebut ‘6 bulan’. Dulu, menyebut 6 bulan itu rasanya artinya adalah jangka waktu yang lama sekali.  Tapi kali ini terdengar singkat. Ya, bagiku, 6 bulan adalah waktu yang singkat. Tak akan seberapa lama lago. Aku tergugu. Mungkin jadi mati rasa, lupa kalau piring ada di tanganku. Aku menggerakkan jari tanpa dapat kukontrol. Crang crang!! Tepian piring sukses terjatuh menyentuh lantai. Semua memang  langsung menatap ke arahku, namun hanya sebentar. Untung segera kuraih lagi piring kaca itu, kalau tidak, aku akan sukses 100% menjatuhkannya dan pasti aku akan membuat kekacauan yang lebih parah dari ini. Piring pecah,kayak di sinetron2, lalu acaranya jadi mberes-mberesin pecahan piring, dan aku akan diinterogasi apakah aku gugup, kenapa gugup dan seterusnya dan seterusnya  =__=

“ Alhamduliah,. Nah, trus pak. Rencana bapak saya mau ke sini tanggal 3. Itu hari minggu, dan selasanya kebetulan kan tanggal merah tahun baru hijriyah, jadi kakak kakak saya rencananya bisa pulang. Mau ikut datang ke sini”

” Oh. Ya . ya, boleh boleh. Tanggal 3 boleh. Malah bagus karena itu hari minggu. Oh mas kukuh berapa bersaudara? Kakak –kakaknya ada di mana sekarang?”

“saya anak terakhir, pak. Kakak ada 4, kerja di luar pulau jawa. Ini maklum ya pak,kakak kakak saya belum pernah ketemu dan liat aini, jadi pada mau datang semua rencananya. Pas tanggal merah juga, seninnya kan hari kejepit”

“ hahaha. Ya, ya. Boleh-boleh..jadi nanti rame”

“ hahahaha. Ya, oke oke. Sudah? Ada lagi yang mau disampaikan?”

“ sudah, pak”

”nah, begitu! :D” 

Ah, sore yang indah. Tetap tidak menyangka, kau lah yang akhirnya bisa sampai di rumahku. Kau. Ya, kau. ^___^

1 komentar: