Hari itu, seseorang yang ditunggu
kehadirannya, benar datang. Seseorang yang belum pernah sekalipun bertemu ayah,
kini akan bertatap langsung dengan lelaki yang selama ini menjadi tumpuan
hidupku. Yang hafal betul setiap sikapku, setiap gerik mataku kalau akau marah,
kalau aku sedih, kalau aku menyukai sesuatu. Bagaimana tidak, dia lebih dari
mengetahui masa kecilku, sebab ia selalu ada bersamaku. Sosok yang dulu selalu
menggendongku kalau aku menangis dimarahi ibu, sosok yang selalu menjadikan
bahunya untuk aku merebahkan kepalaku, meninabobokanku, menepuk punggungku
pelan sambil aku menatap langit malam untuk kemudian terlelap.
Ada rasa
khawatir terselip, memikirkan akan bagaimanakah ia menyikapi pemuda yang baru
dikenalnya, yang datang karena mengaku mencintaiku. Orang-orang bilang, ayahku
galak. Akankah nanti ini dia juga akan galak? Akan diinterogasikah pemuda itu?
Percayakah ia pada pemuda itu untuk menyerahkan putrinya ini padanya? Ah,
terlalu jauh pikiranku. Tidak. Aku hanya perlu merasa lega bahwa ayah akan
mampu bersikap baik padanya, dan begitupun sebaliknya, semoga pemuda itu dapat
bersikap baik pada ayahku. Saat itu, aku
sedang di rumah, membantu ibu yang sedang memasak. Ayah pergi check up di
kantor. Sementara pemuda itu sedang perjalanan menuju ke rumahTiba-tiba saja,
hp ku berbunyi. Hp ibu juga.
Message dari ayah. Kukuh ternyata datang naik bis. Siapa mau
ikut jemput?
Aku tersenyum geli. Semoga ini sinyal baik dari ayah. Ayah jemput sendiri aja ya, kita nggak
ikut. Biar nanti salah bawa orang. Hehe.
Send.
Nanti ayah bawa plang ‘KUKUH’, kalo salah bawa orang, nanti kan ada
yang marah. :b
Aiih..Si Ayah nih..^__^
Tidak lama kemudian, ayah pulang
ke rumah. Rupanya ayah khawatir, sebab sudah 2 jam lebih kami menunggu , Mas
Kukuh belum sampai juga. Padahal perkiraan, 2 jam harusnya sudah sampai. Ayah menelepon Mas Kukuh, dan ternyata dia
salah naik jurusan bis. Tujuannya memang betul, bisa ke Cilacap, tapi yang
lewat Wangon, jadi muternya jauh sekali. Sampai pada keputusan, janjian bertemu
di Alfamart depan bandara.
Aku duduk di tangga Alfamart,
sementara ayah berdiri, menyaksikan lelaki paruh baya itu sibuk menatap ke tepi
jalan, terutama ketika ada bis yang lewat. Ada gurat khawatir yang selalu ada
di keningnya setiap kali resah akan sesuatu. Dan aku melihatnya saat itu. Dan
aku suka, ^__^
“Mbak, coba di sms lagi, mbok
kelewatan. Tanya, sudah sampai mana. Bilang, alfamart yang ada mobil abu-abu
silver”, kata ayah sambil tetap pandangannya tak lepas dari tepi jalan.
“Hmm? Yaa..”, kataku sambil tak bergeming.
Tidak juga ku sms. Sebab aku tau, kalau ku sms, bisa-bisa nanti Mas Kukuh jadi
melihat hp dan lengah melihat jalan. Sebenarnya informasi untuk turun di depan
alfamart bandara itu sudah cukup. Hanya saja, ayah tampaknya terlalu khawatir.
Biar saja.Aku memeluk kaki, tersenyum geli, ayahku
lucu juga. Hihi
Tidak lama kemudian, ada bis
berhenti di tepi jalan. Aku mengangkat daguku yang daritadi kutumpukan di lututku
ketika melihat seorang pemuda memakai polo shirt hitam, celana gunung warna
krem dan menyampirkan ransel di salah satu bahunya turun dari bis. Sontak, senyumku merekah. Dan
ayah yang memang sudah awas dari tadi, langsung berkata,”Itu ya mbak?”.
Aku mengangguk dan kemudian
melambaikan tangan ke arah pemuda yang dulu sempat menjadi asisten laboratorium
tempat aku praktikum sewaktu semester dua. Pemuda itu balas melambaikan tangan
padaku sambil memamerkan lesungpipitnya karena tersenyum lebar. Lambaian itu
memang untukku, tapi aku tau senyuman itu jelas bukan untukku. Sebab, sembari
tersenyum, ia menatap ayah dan berjalan pelan mendekatinya. Kulihat, ayahku
juga tersenyum sama lebarnya dengan dia, sampai membuat kulit wajahnya
tertarik, hilang sudah kerutan kekhawatiran yang tadi kulihat di keningnya.
Mereka lalu saling berjabat tangan.
“Assalamualaikum!”, kata Mas
Kukuh.
“Waalaikumsalam”, sahut ayah,
sambil tetap menjabat tangan lawan bicaranya. Aku bangkit dari dudukku dan
mendekat ke mobil.
“Pantesan lama, ternyata naik
bisa itu to..”, kata ayah sambil berjalan ke arah mobil dan memencet tombol
buka kunci pintu mobil.
“Iya, pak. Habisnya saya nggak
tau. Kirain semua bis ke cilacap, sama aja. “, kata mas kukuh sambil terkekeh
pelan.
“beda-beda, jalurnya beda-beda.
Pantesan lama, wong lewat wangon”,
sahut ayah.
Aku membuka pintu mobil , duduk
di belakang. Sementara ayah dan mas kukuh duduk di depan.
“Jadi tadi itu judulnya salah
naik bis ya Pak? Hehehe”
“Iya. Hahahaha”
Selanjutnya, yang terjadi adalah
perbincangan ringan antara mereka berdua yang sama sekali tidak melibatkan saya
di dalamnya. Membicarakan segala hal yang dilihat di sepanjang perjalanan. Juga
tentang kenek bis yang menjawab tidak tahu apakah bis nya akan lewat depan
bandara.
Tidak sampai 10 menit, kami
sampai di depan rumah. Disambut oleh ibuku, yang sedang menata menu makan siang
yang baru selesai dimasaknya; sup daging , sambal dan ayam goreng. Setelah
shalat dhuhur, ibu mempersilakan mereka untuk makan duluan. Jadi, sementara
mereka makan berdua di meja makan, aku dan ibu menonton TV di ruang tengah.
Sebenarnya nggak fokus lihat acara TV juga sih, sebab ternyata kami lebih
penasaran dengan apa yang sedang mereka obrolkan daripada menyaksikan
dokumenter Nat Geo Wild di televisi. Bagaimana tidak? Mereka mengobrol dengan
tak jarang diselingi tawa ayah, bergantian dengan tawa mas kukuh.
Selesai mereka makan, ayah
mengajak mas kukuh berjalan-jalan ke
halaman belakang. Sementara itu, saya membereskan piring sisa makan mereka dan
mencucinya di dapur. Selesai mencuci, saya kembali ke ruang tengah,menghampiri
ibu sambil melirik ke halaman belakang. Mereka berdua sedang menatap salah satu
pohon mangga yang ada di halaman rumah. Dengan buah markisa di tangan, ayah
bercerita tentang sesuatu yang sepertinya membuat mas kukuh jadi tertawa.
“Haissshhh ngobrolin apa lagi mereka bu? Kayaknya seru amat ya?”, celetukku
akhirnya. Ibu tertawa.
“Enggak tau tuh Mbak. Padahal
baru kenal, ya! Yah..yang mau disampaikan jangan-jangan gak jadi tersampaikan,
tuh. hihi”, ujar ibu sambil tertawa. Aku menoleh ke arah ibu, dan mau tidak mau
jadi ikut tertawa. Alhamdulillah..lancar....^__^
Aku terus menyaksikan dari balik
teralis jendela. Ada rasa hangat yang tiba-tiba menyelip di hati. Tak pernah terbayangkan sebelumnya,
akan ada seorang pemuda yang mungkin juga akan menyayangiku sama seperti ayah
menyayangiku, berdiri bersisian, membincangkan banyak hal di halaman belakang
rumah. Dengan aku yang memandang
punggung keduanya dari balik jendela. Bila melihat langit siang itu rasanya
sungguh berbeda. Kedua ujung bibir ku tertarik perlahan, mengiringi lamunanku
yang melambung sembari menatap indahnya ‘pemandangan’ di hadapanku.
“Eh Mbak, mas kukuh rapihan ya?
Dulu pas pertama kali ibu kenal dia,ketemu di rumah sakit pas dia sama
temeng-temen kampus mu jengukin adik sakit kan dia agak gondrong?”, tanya ibu.
“haaaa..iya ya?”, aku terkekeh
pelan. Itu jaman kapan yak? Jaman pas dia
masih kuliah, kan sekarang dia udah kerja.
“Laper ah,ngapain juga nungguin
mereka ngobrol. Yuk Bu, makan juga? Kuambilin”, kataku sambil berdiri dan
berjalan menuju dapur, lalu makan di ruang tengah dengan ibuku. Minuman markisa
buatan sendiri menemani makan siang kami berdua. Cangkir tambahan kami siapkan,
untuk ayah dan mas kukuh yang ternyata sudah selesai mengobrol di belakang
rumah. Kini, bergabung bersama kami di ruang tengah. Makanku sudah hampir selesai,
ketika mas kukuh membuka percakapan yang cukup membuatku harus mengunyah dan
menelan makanan dengan lebih hati-hati. Sebab, salah salah, aku bisa tersedak.
“Ada yang ingin saya sampaikan,
Pak. Terkait dengan kedatangan saya ke sini”, mas kukuh membuka percakapan.
“Mi, tolong umi ambilin remot TV
mi”, kata ayah sambil menunjuk remot di dekat ibu. Ibu mengambilkan dan setelah
remot beralih ke tangan ayah, ayah menekan tombol mute.
Suasana hening sejenak. Aku yang
tadi lumayan gak kesepian karena mendengar narasi film dokumenter NGC di TV
jadi hanya bisa menatap gambar di TV. Gambar yang bergerak-gerak dan sama
sekali jadi tidak lucu. Aku jadi fokus ke sisa-sisa nasi yang ada di piringku.
Aktivitasku jadi low motion. Entah kenapa, jadi aku yang gugup. Ugh!
“Pertama, saya ingin menyampaikan
bahwa tujuan saya datang ke sini adalah untuk bersilaturahmi dengan Bapak dan
Ibu. Karena sebelumnya saya belum pernah bertemu. Dan yang kedua, saya sudah
lama mengenal aini. Sudah 2 tahun ya?”. Kata pemuda yang terpaut jarak usia 4
tahun di atas ku itu sambil menoleh ke arahku.
“mmm.. ya. Selama kuliah”,
jawabku sambil mencoba tersenyum. Aku duduk tak jauh di sampingnya. Kami duduk
melingkar. Sebelah kananku , mungkin jarak setengah meter itu mas kukuh. Di
sebelah kiriku, ada ibu ku. Dan di antara ibu dan mas kukuh ada ayah.
“ Selama saya mengenal aini, saya
merasa termotivasi untuk selalu memperbaiki diri ke arah yang lebih baik.
Terutama tentang urusan agama. Tidak tau kenapa, dia bisa membuat perubahan
dalam diri saya. Ya maklum, pak..dulu saya sekolah SMP dan SMA di sekolah
biasa, yang pengetahuan agamanya kurang. Dan setelah bertemu dengan aini, saya
banyak belajar darinya”
Aku terdiam. Semua yang
dikatakannya itu tentangku. Ya, tentangku. Dia mengungkapkan apa yang ada di
hatinya tentangku pada ayah. Sesuatu yang kudengar tentangku itu mampu membuat
hatiku menghangat seketika. Tiba-tiba saja, terpikir di kepalaku, bagaimana
dengan ayah? Apakah dia menyukai deskripsi pemuda di hadapanku tentang putrinya
ini? Tanpa kusadari, senyum tipis ku serta merta terukir. Senyum yang juga
hangat dari mataku, walau yang kutatap hanya lah sebuah piring kosong di
tanganku. .
“ Oleh karena itu, jika bapak
meridhai, saya ingin meminang putri
bapak. Dan jika bapak meridhai juga, pesan bapak saya, jika saya diizinkan saya
berencana membawa bapak dan ibu saya sekalian untuk datang silaturahmi ke sini
minggu depan”
Kulihat Ayah mengangguk-ngangguk.
“Jadi begini, mas kukuh.. Saya
pribadi tidak bisa menghalang-halangi jika waktunya memang sudah tiba. Saya sebagai seorang ayah, sudah membekali
putri saya ini dengan bekal ilmu tidak hanya ilmu dunia saja tetapi juga ilmu
akhirat. Harapannya, ketika tiba saat ada yang akan meminang aini, kelak orang
tersebut adalah orang yang tepat, yang juga bisa membawa anak saya tidak hanya
di dunia, tapi juga di akhirat. Otomatis, harus tau ilmunya. Ini kita bicara
soal estafet amanah seorang ayah terhadap anaknya. Jadi, maka dari itu saya
ngirimi mas kukuh buku shirah nabawi untuk dibaca kan? “, jelas ayah. Mendengar
semua itu, aku hanya bisa menatapnya lembut penuh kekaguman.
“ iya pak, tapi baru baca sampai
bab uhud. Hehe”, jawab Mas Kukuh.
“nah itu adalah salah satu bekal
supaya kita mengenal betul siapa rasulullah, dan bagaimana kehidupannya,
bagaimana sahabat-sahabatnya. Sekarang banyak orang yang mengaku beragama islam
dan mengaku cinta rasulullah. Tetapi mereka sebenarnya hanya asal bicara saja
sebab nyatanya mereka tidak mengenal siapa rasulullah. Seperti apa
kehidupannya, dll. Jadi itu, tolong buku tetap dibaca. Gak Cuma mas kukuh aja
yang saya suruh baca. Teman kantor saya yang mau pergi haji aja saya tanya
dulu,”kamu mau pergi haji? Mau ke makam rasulullah. Udah baca sirah belum?”.
Dia bilang, belum pak. Ya buat apa pergi ke mekkah, ke makam rasul,tapi nggak
tau apa-apa tentang itu? Saya langsung suruh dia baca sirah dulu, kalo dia
nggak punya tadinya saya mau pinjemin buku saya tapi udah keburu dikirim ke mas
kukuh”
Kini, kulihat Mas kukuh yang mengangguk-ngangguk
.
“ Lalu yang kedua, brarti ini
tentang khitbah ya? Bagi orang awam, mungkin kl ada lamaran masuk setelah ada
yang melamar itu kadang tidak apa2. Tapi bagi saya, menurut islam itu tidak
bisa begitu. Jadi memang , jika ini saya terima berarti tandanya setelah ini
nggak ada yang bisa melamar aini lagi. Ya itu sih kembali pada aini. Aini nya
mau atau engggak”
Dan tiba2 semua orang memandang
ke arahku. Aku menunduk, menelan ludah. Pelan, kubilang,”manut. .”, tak ayal,
sambil tersenyum pula aku rupanya. Mungkin ibu tersenyum, ayah tertawa, mas
kukuh juga mungkin sedang memandang ke arahku, aku tak tau. Sebab, aku
menunduk. Hanya tersenyum malu kepada piring yang kupegang di tangan. Saat ini,
Cuma itu peganganku satu-satunya. Sepertinya, dia juga yang paling tau apa yang
kurasakan sekarang. Hihi.
“Aini itu anaknya mandiri.
Walaupun kayaknya saya itu galak, tapi kalau di luar dan udah sama Aini,
pokoknya dia yang galakin saya. Jadi, ati-ati lho..”, kata ayah sambil tertawa.
Aku juga jadi ikut tertawa.
“ Tentang bapak dan ibu mau ke
rumah minggu depan juga silakan saja. Atau kita saja yang ke sana juga nggak
apa apa”
“ Iyo nggak enak tho yo..”,ujar
ibu.
“ bapak saya saja yang ke sini,
Pak..pesannya begitu. Tadi malah bapak pingin bicara sama bapak di telpon. Atau
nanti saja pas ketemu juga nggak apa-apa katanya”
“oh. Ngobrolnya nanti saja pas
ketemu. Nggak enak kalau di telepon. Ya sudah, bapak sama ibu yang mau ke sini
juga nggak apa-apa sebenarnya,Cuma saya takutnya nanti repot lagi, nyasar lagi
kan malah repot”
“oh, nggak pak, insya Allah
enggak. Kan saya sudah pernah ke sini”
“ Oh, iya pak. Trus ada pesan
dari bapak saya juga, saya disuruh bertanya terlebih dahulu ke bapak. Kalau
misal akadnya 6 bulan lagi yaitu di cuti kedua saya, apakah bapak tidak
keberatan? Kalau keberatan krn mungkin terlalu lama jeda dari lamaran ke
akadnya, nanti mungkin lamarannya sekalian di cuti kedua saja. Jadi saya ambil
cuti nya nanti agak lama, jadi bisa untuk lamaran dan tidak lama kemudian akad
nya”
“oh, kalau itu..saya tidak
keberatan kok. Toh mas kukuh dan aini berjauhan jaraknya. Dalam artian, nggak
satu pulau. Jadi interaksinya juga terbatas, aman. Saya akan keberatan
kalau mas kukuh kerjanya di jawa. Sebab
interaksi juga diperhitungkan, kalau ada di satu pulau pasti kan beda cerita.
Jadi, nggak apa-apa kalo lamarannya di cuti yang sekarang ini, monggo aja kalo
orangtuan mau datang kemari minggu depan. Akad nya 6 bulan kemudian, kami sih
nggak keberatan ya bu ya?”
“iya”, jawab ibu singkat. Kau tau
rasanya jadi aku? Rasanya, nggak ada. Alias mati rasa. Apalagi ketika menyebut
‘6 bulan’. Dulu, menyebut 6 bulan itu rasanya artinya adalah jangka waktu yang
lama sekali. Tapi kali ini terdengar
singkat. Ya, bagiku, 6 bulan adalah waktu yang singkat. Tak akan seberapa lama
lago. Aku tergugu. Mungkin jadi mati rasa, lupa kalau piring ada di tanganku.
Aku menggerakkan jari tanpa dapat kukontrol. Crang crang!! Tepian piring sukses
terjatuh menyentuh lantai. Semua memang
langsung menatap ke arahku, namun hanya sebentar. Untung segera kuraih
lagi piring kaca itu, kalau tidak, aku akan sukses 100% menjatuhkannya dan
pasti aku akan membuat kekacauan yang lebih parah dari ini. Piring pecah,kayak
di sinetron2, lalu acaranya jadi mberes-mberesin pecahan piring, dan aku akan
diinterogasi apakah aku gugup, kenapa gugup dan seterusnya dan seterusnya =__=
“ Alhamduliah,. Nah, trus pak.
Rencana bapak saya mau ke sini tanggal 3. Itu hari minggu, dan selasanya
kebetulan kan tanggal merah tahun baru hijriyah, jadi kakak kakak saya
rencananya bisa pulang. Mau ikut datang ke sini”
” Oh. Ya . ya, boleh boleh.
Tanggal 3 boleh. Malah bagus karena itu hari minggu. Oh mas kukuh berapa
bersaudara? Kakak –kakaknya ada di mana sekarang?”
“saya anak terakhir, pak. Kakak
ada 4, kerja di luar pulau jawa. Ini maklum ya pak,kakak kakak saya belum
pernah ketemu dan liat aini, jadi pada mau datang semua rencananya. Pas tanggal
merah juga, seninnya kan hari kejepit”
“ hahaha. Ya, ya.
Boleh-boleh..jadi nanti rame”
“ hahahaha. Ya, oke oke. Sudah?
Ada lagi yang mau disampaikan?”
“ sudah, pak”
”nah, begitu! :D”
Ah, sore yang indah. Tetap tidak
menyangka, kau lah yang akhirnya bisa sampai di rumahku. Kau. Ya, kau. ^___^